Bismillahhirrahmannirrahim..
Teman-teman, berikut sedikit catatan saya tentang keramahan masyarakat
Wellington, New Zealand. Kejadian ini jujur membuat saya mempertanyakan
kembali keramahan orang Indonesia. Apa kita ramah?
Cara Menyapa
Sebuah
percakapan saya dengar dalam perjalanan pesawat dari Sydney ke Wellington.
Seseorang menyapa “Hai I’m John”
Yang diajak
bicara merespon dengan cepat
“Hai John , I’m (nama)”.
“Hai John , I’m (nama)”.
Sebuah awalan
yang sederhana dan kemudian dilanjutkan dengan percakapan sepanjang perjalanan
yang terdengar menarik dan cair. Mereka saling mendapatkan teman baru.
Melihat orang
Wellington yang ramah, saya mencoba menyapa duluan. Saat di bus, seorang
perempuan umur 60 tahunan duduk di sebelah saya. “Halo, apa kabar?”, kataku. Ia
menjawab “Baik, terimakasih”, dengan senyumnya. “Malam ini bus nya sangat ramai
ya..”, katanya lagi. “Oh ya? Saya tidak tahu, ini pertama kalinya saya datang ke
Wellington”.. dan mulailah pembicaraan singkat kami di bis.
Saya jadi ingat,
indahnya Islam. Setiap kita bertemu, salam adalah hal yang disarankan untuk
diucapkan. “Assalamualaikum..”, betapa indahnya kita bertemu orang, menyapa
mereka dengan senyum dan mendoakan atas keselamatan mereka. Indah sekali bukan?
Tapi kini, berdasarkan pengalaman saya di Jakarta, kita menyapa orang tak dikenal aja dianggap aneh. Atau 'menyapa' tapi niatnya menggoda. Ini sering terjadi sama perempuan yang lagi jalan sendiri. Disapa para kaum lelaki yang gajelas dengan sapaan salam atau bertanya mau kemana, tapi jelas-jelas niatnya nggak baik! Atau disapa dengan Assalamualaikum tapi terus panik dan bilang, maaf nggak terima sumbangan. Haduh, stereotip yang berbahaya. Naudzubillah..
Kebaikan Sopir
Tapi kini, berdasarkan pengalaman saya di Jakarta, kita menyapa orang tak dikenal aja dianggap aneh. Atau 'menyapa' tapi niatnya menggoda. Ini sering terjadi sama perempuan yang lagi jalan sendiri. Disapa para kaum lelaki yang gajelas dengan sapaan salam atau bertanya mau kemana, tapi jelas-jelas niatnya nggak baik! Atau disapa dengan Assalamualaikum tapi terus panik dan bilang, maaf nggak terima sumbangan. Haduh, stereotip yang berbahaya. Naudzubillah..
Kebaikan Sopir
Setelah menunggu
di bus stop, kami naik bus nomor 23 arah kembali ke asrama di kawasan kampus.
Perjalanan di bus tidak lah lama, tapi sangat berharga karena kami melihat
keindahan disini. Seorang ibu sedang bersama bayinya. Bayi itu rewel, menangis
terus, dan akhirnya muntah-muntah. Sang sopir sempat mendekati bayi itu dan
mengelus-elus kepalanya. Dan berkata “kamu merasa lebih baik?”.
Hingga tiba-tiba
bis nya berhenti di pinggir jalan dan sang sopir keluar dengan tergesa-gesa.
Saya bingung, ada apa ini. Apa akan ada penggantian shift sopir? Atau sang
sopir lari entah kemana?. Saya bingung, begitupun yang lain. Hingga beberapa
menit kemudian, ia masuk kembali ke bis dengan tergesa-gesa dan kemudian
berkata “Terimakasih untuk kesabaran kalian semua”. Sang sopir membawa kantong
plastik berisi air dan tisu. Dan itu semua diberikan kepada sang ibu yang
sedang mengurusi anaknya yang menangis dan muntah-muntah!
Bayangkan,
seorang sopir yang disana bertindak sebagai penanggung jawab di bis sangat tanggap
dengan situasi didalam bus. Subhanallah. Saya menganga melihat kejadian itu,
yang memang jarang sekali saya temui.
Seorang
bapak-bapak memberikan tepuk tangannya menghargai apa yang dilakukan sang
sopir. Yang lainnya pun mengikuti, dan tepuk tangan hari ini untukmu sang
sopir.
4 komentar:
Tentng Bapak Sopir yng baik hati itu Ron, kayaknya di kita juga bisa..bisa dibudayakan. Budaya inisiatif, respect, peka, dan tidak malu berbuat baik.
Kalau supir kopaja disini bersikap demikian, mungkin awalnya bkal terasa aneh. Banget.
Asri: Bisa banget Asri, pada dasarnya budaya kita kan seperti itu juga. :)
apa benar warga NZ benar2 ramah? soalnya banyak juga tmn2 bilang bahwa mereka justru sebalik nya.
bima
anonyous: :) Oh.. saya menulis berdasarkan pengalaman pribadi saja. Bukan berdasarkan 'kata teman-teman' :)
Post a Comment