Rona Mentari

tell a story, reap a wisdom

Dongeng Untuk Cinta


Beberapa waktu yang lalu, saya sempat rutin mendongeng untuk pasien anak di sebuah rumah sakit di Jakarta. Kegiatan itu adalah bagian dari aktivitas kerelawanan dari sebuah komunitas pencinta bacaan anak. Biasanya saya dan teman-teman relawan lain akan membawa buku dongeng dan membacakannya. Atau membawa boneka jari untuk kemudian diberikan sebagai hadiah.

Jangan bayangkan kita mendongeng dengan banyak anak berkumpul. Bukan seperti itu. Kami akan menyebar dan masuk dari satu pintu ke pintu lainnya untuk menghampiri pasien anak. Anak-anak disini terlalu lemah untuk bisa beranjak dari tempat tidurnya. Biasanya, satu ruangan terdiri dari enam anak. Tidak semua anak bisa didongengi. Ada yang sedang tidur, ada yang kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk bisa mendengarkan dongeng, ada juga yang tidak mau, tapi yang terakhir ini jarang sekali.

Saya akan berkenalan setelah memasuki ruangan, dan meminta ijin dulu kepada orangtuanya. Hampir semua orangtua senang dan mempersilahkan kami mendongeng. Tak jarang beberapa orangtua terharu saat kami datang mendongeng, mereka kemudian akan bercerita banyak hal, giliran kami yang mendengarkan.

Dongeng biasanya disampaikan ke satu anak, atau terkadang tiga anak sekaligus, tergantung kondisi mereka. Melihat mereka tertawa dan tersenyum mendengar dongeng saya adalah hal yang sangat menyejukkan. Terkadang justru saya yang harus benar-benar menahan haru karena melihat kondisi mereka. Sering saya sengaja tersenyum lama sendiri sebelum masuk ruangan pasien anak, ceritanya membangun kekuatan diri. Ya, kita tetap harus terlihat menyenangkan dihadapan mereka.


Suatu ketika, saya mendongeng kepada satu pasien anak perempuan. Sebut saja namanya Cinta. Sekilas tak ada yang aneh dari wajahnya. Lebih tepatnya, ia tak terlihat seperti anak yang sakit. Tapi ternyata saya salah, ia mengidap sakit yang cukup parah. Binar wajah kanak-kanaknya memang terlihat menggemaskan, tapi fisiknya lemah. Hanya bisa terkulai di tempat tidur. Cinta adalah seorang anak usia 6 tahun dengan rambut sebahu. Matanya bulat, wajahnya teduh berkulit sawo matang. Saat saya minta ijin mendongeng, ia meresponnya dengan kedipan mata dan anggukan sangat pelan, mau. Ia memang terkulai lemah di tempat tidur, tapi ia memperhatikan dongeng saya dengan baik. Matanya merespon banyak. Sesekali ia memiringkan tubuhnya. Beberapa kali saya beratraksi seperti mendongeng didepan ratusan anak. Bergaya seperti hewan yang ada dalam dongeng. Ia tersenyum simpul. Saya senang sekali. Wajahnya makin menggemaskan dihiasi senyum. Beberapa kali ia tersenyum, saya jadi makin semangat mendongeng. Hingga sampailah dongeng pada akhir kisahnya. Ia masih tersenyum. Gerakannya sangat pelan saat ia tersenyum, ia benar-benar lemah. Tapi tak apa, yang penting ia tersenyum!


Saya pamitan dengan Cinta. Menciumnya. “Cepet sehat ya sayang..”. Kemudian pamit dengan ibunya. Matanya berkaca-kaca. Sang ibu mendekatkan mulutnya ke telinga saya, “terimakasih ya mbak, ini untuk pertama kalinya dia tersenyum sejak kemarin..”. Mata kami beradu. Saya ijin keluar ruang. Kali ini saya yang tak bisa menahan haru. (Rona Mentari)

(Sumber foto: Google Images)


Total Pageviews

Tentang Saya

My photo
Yogyakarta, Sleman, Indonesia
Seperti mentari yang merona-rona. Mungkin itu alasan sekaligus harapan orang tua saya memberi nama Rona Mentari. Saya adalah juru dongeng keliling. Storytelling Activist. Dongeng menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan saya. Salam kenal! Mari bersilaturahim juga via instagram di @mentarirona

Tentang Blog Ini

Blog ini adalah catatan tulisan berdasarkan pengalaman, cerita, karya, dan berbagai cerita penulis - Rona Mentari. Kadang juga berisi celotehan kekesalan berbentuk puisi atau sekedar kegundahan tentang sekitar.

Popular Posts

Powered by Blogger.

Followers