Rona Mentari

tell a story, reap a wisdom

Showing posts with label puisi hati. Show all posts
Showing posts with label puisi hati. Show all posts

Tahukah Kau

Tahukah kau tentang nyanyian langit
Tentang daun yang diterpa sang angin
Tentang lebah yang letih menebar sukma
Tentang tiap-tiap halaman bukumu
Tentang kisah sebuah apel merah
Tentang romansa dalam adegan opera
Tentang ratusan duri di tangkai mawar
Tentang  roda yang menggilas tanah
Tentang ilmu yang tak habis-habis disebar
Tentang pelangi yang tersenyum setelah hujan datang
Tentang Dia yang dimana-mana sinarnya

Kehidupan, ketahuilah darinya


- Rona Mentari

Saksi Mati




Tulang kayu coklat mengkilap terhubung syaraf paku baja
Berdiri tegak bersiap untuk menantang jaman
Susunan jati tebal idaman duniawi
Tertata rapi menarik jiwa haus ilmu
Sudut ruangan berhias papan tulis adalah rumah
Akulah sang kursi ilmu

Seorang anak bertubuh kurus datang kepadaku
Dengan wajah berhias mentari pagi
Dia duduk diatasku
Tenang ringan kusangga
Aku tersenyum nyaman

Namun ketika masa bergulir memuai waktu

Keceriaan itu memudar muram
Tajamnya jarum jam menusuk pelan menyiksa relungnya
Detak terdengar keras kasar memekakkan telinga

Brak!

Aku mengerang terhimpit
Anak itu terhempas menuju ke arahku
kasar lewat dorongan keras tangan kuasa seseorang

"Hey kau bagai sudra berlipat derita
Kau tak pantas ceria!"

Perihnya mengalir dan meradang di tiap seratku
Aku pun semakin lemah dengan karungan luka

Beban derita anak itu menjelma godam besar
Memukul mukul tiap sendiku
Merontokkan satu demi satu paku keyakinanku

Kakiku patah tanganku terhempas lepas terpisah raga
Lumpuh layu aku
Getaran kata menyulut sumbu lidahku yang kelu

Hentikan godam derita anak itu biarkan dia berkawan ceria

Kelu itu terdengar hanya sayup di telingaku
Tak ada yang berubah
Sang waktu terus bergulir menggilah kisah

Satu lagi
Sebuah karakter terbunuh diatasku


(Jogja 2008)



Bunga Temanku


Tepat dua hari lalu

Saat canda dan sapa selalu ada diujung meja kayu. 
Pojok kantin kampusku.
Hangat memeluk kami yang jelas jelas tak padu.
Namun harmoni dalam nyanyian merdu.

Sampai sosokmu samar beradu.
Diantara silauan matahari di langit biru.
Sang bunga yg menghiasi halaman rumahku.

Tapi bukan bunga yang terakhir kutemui dulu.

Hati menderu.
Kemana mahkotamu?
Kemana kilauan madumu? 

Aku tahu kau tentu juga menderu.
Kau mungkin tau apa isi deruan hatiku.
Kita hanya tertawa saat itu.
Aku berusaha tak kelu.
Padahal ada gemuruh yang amat pilu.
Aku berusaha tak kaku.
Padahal mendadak tubuhku menjadi bongkahan es batu.
Aku mencoba biasa saja dan bertanya kabar madumu.
Kau jawab dan akupun menanggapi dgn lagu.
Padahal fikirku bertanya penuh liku.
Hingga ketika berpisah saat itu.
Ada yang tumpah dari dada kiri dan meleleh di indera penglihatanku.

Dimana mahkotamu?
Dimana kilauan madu?

Aku patah hati oleh rindu.
Atas dirimu yang baru.

Memang aku ini siapa, katamu.
Iya, aku hanya pengagum kilauan madumu.
Kau ada di halaman rumahku.
Walau kita jarang bertemu.
Aku tahu benar, dirimu yg merdu.

Wahai bunga di halaman rumahku.

Kamu masih bunga tentu.
Aku tahu itu.
Masih indah warnamu.
Aku tahu itu.
Masih segar wangimu.
Aku tahu itu.

Tapi aku juga tak sabar melihat dirimu yang baru.
Dengan mahkota dan madu yang baru.
Dengan jiwamu.
Yang baru.

Mentari, 03.55am

"Kata Ibu"

Soekarno pernah berkata “berikan aku sepuluh pemuda, maka aku mengguncang dunia!”
Hatta pun berpesan “Hanya ada satu negara, negara itu tumbuh dari perbuatan, dan perbuatan itu perbuatanku”
Dan banyak lagi, kalimat indah yang membakar energiku untuk berjuang menjadi seorang yang disebut-sebut sebagai aktivis!

Darah mudaku mengalir
Aktivitasku padat
Bahkan untuk menyapaNya pun aku tak sempat
Bergerak ku ke berbagai tempat
Menjunjung tinggi itu yang disebut amanat
Amanat rakyat

... ibu memanggilku? ... aku lelah bu, hari ini tugasku menjadi konseptor acara, aku ingin tidur...
Apalagi bu?..

Sampai aku lupa ada dia yang tiap saat mendoakan untuk suksesku
Mengharap ceritaku
Dan menanti kehadiranku

... Ibu, kenapa engkau bersedih?... Iya, sudah lama ya bu tidak berbincang seperti ini .. Apa? Ibu ingin mendengarku menyanyi?.. baiklah.. lagu yang selalu aku nyanyikan dulu ya bu...

Ambilkan bulan bu, ambilkan bulan bu, yang slalu bersinar di langit..
Di langit bulan benderang.. cahyanya sampai ke bintang..
Ambilkan bulan bu, untuk menerangi.. tidurku yang lelap di malam gelap..

(ibu memberikan tulisan untuk dibacakan)

Untuk anakku tersayang,
Nak, ingatkah kau lagu ini?
Dulu engkau selalu meminta ibu untuk meraih bulan
Kini, saat engkau telah meraih sedikit cahaya bulan
Kenapa ibu jadi sulit meraihmu?


Peluk sayang, Ibu



Rona Mentari - Okt 2012

(Sajak ini dibacakan saat Aksara Bulan Purnama - KAFHA Laboratory for humanity and culture - di Taman Peradaban Universitas Paramadina)
(PS: It's been a long time since my last post in blog. Starts now I try to commit to share post at least once a week. Stories are around, write it down to make it more useful)

Celoteh Kendaraan

Pagi ini kupacu kendaraanku sedang
Tak ada yang perlu kukejar kejar
Tawa dan canda dari teman sejuang mengiringi senyumku
Memulai hari disini

Matahari belum tampak benar saat raungan kendaraan berdesak di gang-gang sempit
Di jalanan dua jalur yang kemudian dipaksa menjadi tiga empat jalur

Penuh merayap
Kendaraan yang klaksonnya telah letih berbunyi
Kendaraan yang tubuhnya lekat debu lumpur jalanan
Kendaraan yang kreditnya macet
Yang baru dibeli kemarin pakai duit utang
Yang plat nomor belakangnya dicopot
Yang jarum speedo meternya tak berfungsi lagi
Yang minta diberhentikan barang sehari saja

Hampir saja kulihat tabrakan besar
Saat orang didepanku menginjak gasnya sebelum hijau menyala
Beruntung rem mereka masih cakram
Decitan ban mengganggu pendengaranku pagi ini

Lalu, terpaksa kutinggalkan kendaraan di parkiran kantor yang entah namanya apa
Tak cukup waktu urus ban ku yang bocor
Ada paku menancap di kulit nya
Menancap juga di dada kiriku

Kutunggu beberapa masa di pinggir raya
Sebuah kendaraan meraung mengejarku yang berdiri santai di atas trotoar
Diatas trotoar saudara saudara
Klakson dibunyikan tak henti-henti
Sedikit sayup sayup karena ada earphone di telinga ku
Hampir saja aku jadi sasaran jotosnya
Pengendara kendaraan di trotoar

Kuputuskan menuju halte trans
Lamanya menunggu sebenarnya sama saja jika ku urus ban kendaraanku dulu
Sudahlah, semoga bos mengerti

Pulang
Telah kutimbang timbang
Kereta yang tercepat
Apalagi kini harganya murah
Kulangkahkan kakiku ke stasiun terdekat
Walau tawaran ojek menggoda juga

Kaget bukan main
Saat kusaksikan manusia berdesak tak manusiawi diatas roda besi
Apa apaan ini

“Masuk mba”, ujar seorang Ibu didalam
Padahal jelas, untuk memasukkan tas ku saja seperti tak mungkin
Ditariklah aku
“Hadap ke pintu mba”, katanya lagi
Agak kudorong memang, maaf
Kuhadapkan diri ke pintu
Lebih baik, walau tentu saja ngeri

Kulihat sekeliling
Ibu-ibu paruh baya
Perempuan muda dengan jas kerjanya
Atau mahasiswa dengan tetap, smartphone di tangannya

Aku pun tak bisa bergerak
Kubayangkan jika tubuhku mungil
Mungkin bisa saja aku tenggelam dalam sesak yang, berbahaya

Tubuh kami berdesak bak satu rangkai
Bergerak sama
Kanan dan ke kiri
Atau sama sama terhimpit saat kereta mau berhenti
Jeritan dan omelan jadi iringan nada sore ini
Sampai seorang ibu memecah sunyiku
“hitung-hitung latihan tawaf..”, ujarnya
Duh Ibu, masih saja kau berfikir baik, saat aku saja tahu kau sedang tidak baik baik saja

Terlalu baik
Ada yang meringkik
Jagoan tengik
Membuat bulu begidik
Epic!


Rona Mentari 30/3/14 2.03

"Jangan Salahkan Lupa"

Bismillahhirrahmannirrahim..

Ini bukan yang pertama kali, tapi kuharap yang terakhir. Ya, kemarin Allah mengingatkanku dengan caraNya yang lembut. Menyadarkan akan kekekalan yang sejatinya hanya milik Allah semata.

Ikat unta mu dengan kuat, lalu melengganglah meninggalkannya. Jangan engkau sebut ‘nanti dulu’, ‘nanti saja’, atau ‘ah tidak apa-apa’ sebelum segala daya engkau tunaikan untuk mengikatkan kuat unta mu. Karena kita baru merasa, setelah tiada. Merasa setelah tiada.

“Orang kecil itu selalu membuat masalah kecil jadi besar, sedangkan orang besar itu biasa menghadapi masalah-masalah besar”, kata seorang Bapak kepada anak-anaknya. Kuingat terus itu saat rintang menghadang. Tenang.

Aku jadi ingat, saat masih di bangku SMA, aku adalah si anak berkalung note kecil. Sadar betul akan penyakit lupa. Kubeli buku kecil. Kuberi nama “Commitment Book”. Isinya berbagai janji, tugas, dan berbagai have-to-do-list. Terbukti efektif memang. Tanda centang di sisi kanan menjadi sebuah kelegaan karena itu berarti aku telah menyelesaikannya. Mungkin juga, ini cara yang tepat untuk melatih ingatan kita. Padahal kalo diingat, betapa anehnya berkalung buku kecil kemana-mana. Tapi dasarnya saat itu saya cuek, jadi santai saja berjalan nyengir kemana-mana dengan kalung notes bak penyanyi hiphop.

Ah itu dulu.

Akhir-akhir ini, saat sudah tak lagi di bangku SMA. Bahkan hampir melewati masa kuliah, berbagai deadline project memang menggurita. Aku masih memiliki ‘”commitment book” itu. Tapi belakangan kuabaikan. Tak kutengok sedikitpun. Sempat kutulis beberapa komitmen. Tapi itu pun terlewatkan begitu saja tanpa centang di sisi kanan. Kekuatannya jadi memudar. Aku tak lagi komit dengan si buku komitmen. Terlupakan.

Tapi tunggu, ini bukan tentang lupa. Jangan salahkan lupa jika kita tak berusaha mengingat. Jangan salahkan lupa jika kita saja tak benar-benar menginginkannya. Jangan salahkan lupa. Lupa adalah perpanjangan tangan dari ketidak pedulian dan ketidak berpihakan.

Sampai kemudian, “Kayak gini kok berkali-kali, kalau ngurusin hal remeh temeh aja kamu seperti ini, gimana mau ngurusin hal-hal besar?”, kata Papa kepada saya lewat telfon.

Setelah itu saya diam beberapa detik.

Benar kata Papa. Kata-katanya menyadarkan saya akan pentingnya mementingkan hal remeh temeh untuk kemudian mempertahankan kepentingan-kepentingan besar untuk orang banyak. Terimakasih Pa untuk nasihatnya.

Sudah. Sedih, sudah. Sebel, sudah. Marah, sudah. Sekarang waktunya bebenah. Merapikan puzzle yang sempat berantakan. Menata kembali janji-janji. Seperti ketapel. Dibutuhkan tarikan ke belakang untuk bisa meluncurkan peluru dengan kencang. Tepat sasaran. *emot senyum nyengir*


Ah, maaf jika aku terlalu banyak nyampah di waktumu. Terimakasih sudah membaca catatan kecil ini. Hey lihat, Allah masih menyiapkan udara segar untuk pagi kita, mencukupkan makanan untuk hari hari kita, memberikan pandangan yang sempurna, raga yang sehat, dan berbagai nikmat tak terhingga. Bergegas! :)*emot senyum*

"Duhai Ummi"

Duhai Ummi
Lihatlah ini
Lalu lihatlah mataku
Seraut wajah nan belum tergores
Sepucuk tatapan harapan abadi
Menanti belaian bunga-bunga
Dari lembutnya telapak tanganmu
Dari indah nya tutur katamu
Seindah isi firman di kitab ini

Duhai Ummi
Kau kan hidup di waktu datang
Saat yang bagiku masih jadi tanda tanya
Apa gerangan yang kan menghadang
Kau pun tak tahu duhan ummi
Kita hanya mampu bertanya
Dan menyapa selamat datang
Wahai masa depan

Duhai Ummi
Meski jalanan masih gelap
Meski ummat masih terlelap

Janganlah putus tuk berharap
Pastikan sebelum datangnya siang
Alquran di tanganku ini
Adalah pembela yang suci

Duhai Ummi
Bukalah dadaku
Isilah dengan tutur katamu
Masukkan nilai fitrahku
Ajarkan kepadaku
Apa arti bisikkan Rabb-ku



Abdullah, Jogja 22 Okt 2003

(Terkaget-kaget saat menemukan kertas puisi lecek ini di tumpukan berkas saya. Masih dalam kondisi yang sama saat saya gunakan dulu. Ini adalah puisi yang saya bacakan saat mengikuti lomba baca puisi di UGM antar SD se DIY. Saya pulang membawa piala juara 1 dan tentunya, sepucuk senyuman hangat dari Umi-ku, yang sebenarnya)

Mars dan Venus



Mars dan Venus. Hakikatnya berbeda. Tapi sama kan didalam tata surya?
Ditinggalkan salah satu diantaranya tentu bukan sebuah pilihan. 
Tapi sebuah takdir yang tak bisa dielak.
Beda. 
Ditinggalkan yang sama dan bersama yang beda membutuhkan daya lebih kuat untuk tetap mengorbit di garis semesta.
Bukan sebuah halangan, saya pikir.
Meski ribuan asteroid terbakar di kulit keduanya.
Tak apa jika tak berucap selamat bahagia. 
Yang penting tetap menjaga di orbit Sang Galaksi. 
Iya kan?


Cerita Senja

Hari ini mentari
Saat itu pelangi
Yang butuh derasnya hujan untuk menikmati

Hari ini puitis
Saat itu dramatis
Yang tersenyum dalam realitas asa

Hari ini ilmu
Saat itu belajar
Yang tertanam di indahnya pengalaman

Hari ini berharga
Dan
Saat itu bahagia
Kata hatiku


Rona Mentari

"Ambilkan Bulan Bu.."



Soekarno pernah berkata “berikan aku sepuluh pemuda, maka aku mengguncang dunia!”
Hatta pun berpesan “Hanya ada satu negara, negara itu tumbuh dari perbuatan, dan perbuatan itu perbuatanku”
Dan banyak lagi, kalimat indah yang membakar energiku untuk berjuang menjadi seorang yang disebut-sebut sebagai aktivis!

Darah mudaku mengalir
Aktivitasku padat
Bahkan untuk menyapaNya pun aku tak sempat
Bergerak ku ke berbagai tempat
Menjunjung tinggi itu yang disebut amanat
Amanat rakyat

#... ibu memanggilku? #... aku lelah bu, hari ini tugasku menjadi konseptor acara, aku ingin tidur...
# Apalagi bu?..

Sampai aku lupa ada dia yang tiap saat mendoakan untuk suksesku
Mengharap ceritaku
Dan menanti kehadiranku

#... Ibu, kenapa engkau bersedih? #... Iya, sudah lama ya bu tidak berbincang seperti ini #.. Apa? Ibu ingin mendengarku menyanyi? #.. baiklah.. lagu yang selalu aku nyanyikan dulu ya bu...

Ambilkan bulan bu, ambilkan bulan bu, yang slalu bersinar di langit..
Di langit bulan benderang.. cahayanya sampai ke bintang..
Ambilkan bulan bu, untuk menerangi.. tidurku yang lelap di malam gelap..

(ibu memberikan tulisan untuk dibacakan)
Untuk anakku tersayang,
Nak, ingatkah kau lagu ini?
Dulu engkau selalu meminta ibu untuk meraih bulan
Kini, saat engkau telah meraih sedikit cahaya bulan
Kenapa ibu jadi sulit meraihmu?

                                                      Peluk sayang, Ibu

(dibacakan saat malam "aksara kala purnama")

Sajak Sebuah Nasihat



Aku kelu dalam kalimat akhirat
Seperti putri malu dalam sentuhan
Lemah aku sekali saja
Cermin cermin asa memantulkan lagi
Sebuah senyuman resah nan menarik

Pikul ini tak ringan
Letupan mata rasanya tak sirat
Tapi inilah tingkatannya
Saat melempar bumerang sendiri
Tapi
Aku tahu Allah tak salah pilih

Saat ijabah doa dijawab nyata
Malu didepan mereka
Adalah cambuk kapas yang indah
Yang sentuhannya mampu menyalakan tiap sendi
Menguatkan tiap iman
Membesarkan tiap hati
Mencederai tiap syetan
Dan
Membersihkan tiap yang kotor

Dalam toharoh ini, aku berjuang

#2011

Tahukah Kau



Tahukah kau tentang nyanyian langit
Tentang daun yang diterpa sang angin
Tentang lebah yang letih menebar sukma
Tentang tiap-tiap halaman bukumu
Tentang kisah sebuah apel merah

Tentang romansa dalam adegan opera
Tentang ratusan duri di tangkai mawar
Tentang  roda yang menggilas tanah
Tentang ilmu yang tak habis-habis disebar
Tentang pelangi yang tersenyum setelah hujan datang
Tentang mentari yang dimana-mana sinarnya

Kehidupan, ketahuilah darinya


#November-2012

Iman Itu


Iman itu di charge
Tidak dibiarkan seperti air, mengalir
Yang bisa nyangkut dimana saja
Semau gerak airnya


Iman itu dicari
Tidak ditunggu seperti bintang jatuh
Yang tak jelas kapan datangnya
Hanya sekali seumur-umur


Iman itu ada dimana-mana
Di tiap-tiap detik dunia
Jika kita bisa ambil hikmahnya
Teman, keluarga, majelis, diri, kitab, jalan
Semuanya

Siapkah menerima sang iman?
 


(07.02 am/2012)

Nasihat

bismillahhirrahmannirrahim..


Allah datang darinya
lewat udara yang dipenuhi kata
terbang gemulai mendarat di telinga


menerawang hati
kucerna tiap darinya
haru menderu, asa meninggi


tepat pada waktunya

*terimakasih Bundo :)

Ironi



Tidakkah kau malu?
mendengar lebah di negerinya yang kaya
mengemis tak bernada
merontokkan taringnya sendiri?

*saat melihat  kanak-kanak mengemis paksa pd penumpang kereta. Jkt-jog.

Sajak Kemanusiaan

(Saat dibawakan, puisi ini dikemas monolog dalam peringatan Hari Pers Nasional di Yogyakarta. Dalam 'malam seniman Jogja' bersama para penyair dan seniman Yogyakarta.)

## (Suluk) 
Ati –ati sing podo mikul wakul
Yen gembelengan wakule ngglimpang dadi sak latar!

Ketika aku berjalan menjemput asa
Dunia menyambutku dengan tangan terbuka
“Aku tempatmu menabung, datanglah” katanya
Aku pun datang meraih tangannya dengan keyakinan dan senyum
“Nikmatilah, anggap rumahmu sendiri”, katanya lagi
Seraya berjalan menjauh, membebaskanku
 
Berlari aku kelilingi tempat ini
Kesana kemari kedepan kebelakang
Ke kanan kiri lalu jumpalitan sebahagiaku
Keatas lagi kebawah lagi dan terus begitu
Sampai aku capek sendiri

Bertemu menemui menyapa menyaksikan dan mendengar
Mereka sesama manusia yang tidak dimanusiakan
Atau memang tidak memanusiakan dirinya sendiri

Aku pun teringat oleh tabunganku

Tapi aku melihat seorang paruh baya didakwa hanya karena pisang satu sisir
Sedang mereka pencuri uang rakyat tanpa malu menicure pedicure di penjara?

Fabbiayyia laa irobbikumaa tukadzibann

Mayat bayi digendong ayahnya di kereta untuk pergi keluar kota
Karena tak mampu biaya pemakaman di Jakarta?

Fabbiayyia laa irobbikumaa tukadzibann

Atas nama kasih sayang menyebarkan kondom
Sementara kasus aborsi meningkat pesat

Fabbiayyia laa irobbikumaa tukadzibann

Dengan mudahnya berdusta padahal jelas jelas
Sumpah diatas kepala telah dilakukan

Fabbiayyia laa irobbikumaa tukadzibann

Sekelompok massa yang mengatasnamakan agama
Melakukan tindakan anarkis tanpa malu pada Tuhannya

Fabbiayyia laa irobbikumaa tukadzibann

Lalu sana sini berbicara mencaci memaki
Mengkritik tanpa ada solusi dan aksi sedikitpun

Fabbiayyia laa irobbikumaa tukadzibann

Dan aku pun berkata dalam cermin ini
Dan aku pun berkata dalam cermin ini
Dan aku pun berkata dalam cermin ini

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan”

                                                                                                                Rona Mentari 
                                                                                                             26 Februari 2012

Karena Sayang dan Kasihmu


Jerit lemah memuai, mengisi ruang aku menghirup dunia
Tak lagi ada tp senyumnya meredam rasa lelah itu
Saat tangisku kencang maka hatinya ikut kuat
Pun denganku yang selalu ingin disampingnya

Ya Rahman, kasihnya menyuapi hati ku yang kerontang
Rasa kasihnya melepas dahaga palsuku
Rasa kasihnya tak luput dari tiap kedipan
Rasa kasihnya berdiam tenang nyaman di dada kiri ini
Di sana, maka dia disini

Ya Rahim, sayangnya membuai dalam tenangnya jiwaku
Rasa sayangnya menghangatkan tiap sendi tubuhku
Rasa Sayangnya menyanjungku saat perih
Rasa sayangnya mengangkatku saat jatuh
Saat apa, maka dia ini


Sayang dan kasih nya adalah anugerah
Tapi itu bersumber dari yang Maha
Karena ia hembusan sayang dan kasih itu dariNya
Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

Selamat hari ibu, mama.. 

22 Desember 2011, ketika pribadi dalam senyawa

Sadar

Dia hebat
Baru selangkah aku kesana
Terbayang lampau yang hijau
Jauh aku darimu
Rotasi ini pudar oleh rotasimu

Ketika tenda putih berbaris
Tegak dalam kesaksian suci
Tak sangka dalam fikirku
Ia lakukan rukun ini
Aku jadi malu oleh mataku sendiri

Letih kaki yang terbayang
Seperti renta dalam dakian
Aku saja seperti ini
Duhai engkau yang disana
Terlambat kusadari
Pencapaian luar biasamu ini

Total Pageviews

Tentang Saya

My photo
Yogyakarta, Sleman, Indonesia
Seperti mentari yang merona-rona. Mungkin itu alasan sekaligus harapan orang tua saya memberi nama Rona Mentari. Saya adalah juru dongeng keliling. Storytelling Activist. Dongeng menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan saya. Salam kenal! Mari bersilaturahim juga via instagram di @mentarirona

Tentang Blog Ini

Blog ini adalah catatan tulisan berdasarkan pengalaman, cerita, karya, dan berbagai cerita penulis - Rona Mentari. Kadang juga berisi celotehan kekesalan berbentuk puisi atau sekedar kegundahan tentang sekitar.

Popular Posts

Powered by Blogger.

Followers