Rona Mentari

tell a story, reap a wisdom

Alergi Agama?


Kenapa harus takut dengan God Will?

Bukankah kita hidup di dunia sebagai Khalifa?
Siapa yang menciptakan kita? Allah
Kita hidup untuk siapa? Allah
Lalu kita siapa? Hamba Allah.

Pertanyaan diatas muncul karena ungkapan seorang peserta seminar yang seakan alergi dengan God Will atau  bahkan Agama. Ia ingin menegaskan kepada sang pembicara bahwa Agama tidak penting. Yang sayangnya di-iya-kan pula oleh sang pembicara. Saya tergelitik dengan orang yang alergi dengan God Will, kehendak Tuhan. Saya heran, bukankah kita diciptakan oleh Tuhan kita untuk kembali padaNya. Jadi kenapa kita harus takut pada kehendakNya?
Segala yang kita lakukan di dunia memang idealnya untuk Tuhan. Kita menahan diri untuk tidak mencontek sementara teman yang lain mencontek, itu karena kita tahu ada Tuhan Yang Maha Melihat segala apa yang kita lakukan karena itu perbuatan curang. 

Kita belajar di kelas agar kita memiliki banyak wawasan dan teman agar kita bisa menggunakan wawasan itu untuk kemaslahatan orang banyak. Dengan begitu, Tuhan akan senang karena kita bisa memberikan banyak manfaat untuk orang lain. Saya jadi ingat kata-kata seseorang. "Allah itu ngasih talent buat kamu secara gratis. Nggak etis rasanya kalau kamu menjualnya dengan transaksional. Sebarlah sebanyak-banyaknya, tidak akan rugi tapi manfaat besar untukmu."

Tentang Agama

Seorang pembicara dalam salah satu seminar program ILC Victoria University menjelaskan tentang Ethics. Ia menjelaskan dengan sangat baik konsep Ethos, Pathos, dan Logos. Yang ia jelaskan masing-masing. Ethos sebagai values, ethics, credibility. Logos sebagai relevant evidence dan reasoned argument. Terakhir Pathos sebagai emotion dan social psychology.

Ia kemudian menjabarkan ethics dalam leadership politics yang dipaparkan melalui enam pilar. Liberty, care, fairness, loyalty, authority, dan sanctity.

Setelah seminar saya menyempatkan diri bertanya kepada pembicara. 
Apakah menurut anda agama penting untuk menjadikan kita orang yang beretika?”
Ia pun menjelaskan. Ternyata ia tidak menggunakan kata religion, tapi sanctity, sesuatu yang suci. Ia juga menjelaskan pada awalnya mungkin agama bisa berguna tapi pada saatnya ia akan mengabaikan agama itu. Dari jawaban itu saya tahu, bagaimana mereka kurang yakin dengan pentingnya agama. Mungkin saja, ini terjadi karena kekecewaan mereka terhadap sistem agama mereka atau oknum dalam agama mereka di masa lalu. Sayangnya.


Street Artist


Bismillah..

Masih di Wellington, kali ini saya akan bercerita tentang seniman jalanan disana. Menarik, unik, dan nyentrik! Ini dia ceritanya..

1. Di Cuba street kami dipertemukan dengan seorang anak usia SD yang sedang melakukan pencarian dana dengan menampilkan kebolehannya adu cepat tangan memindahkan gelas *ngga tau nama permainannya apa*. Dengan kecepatan tangannya, ia bisa dengan mudah memindahkan gelas-gelas yang disusun sedemikian rupa. Anak itu menuliskan maksudnya bermain disana. Yaitu untuk menggalang dana agar mereka bisa mewakili NZ dalam festival permainan itu di tingkat dunia, tepatnya Amerika. Saya tersenyum sendiri melihatnya. Membayangkan, berada dalam posisinya. Kenapa? karena itu lah salah satu yang saya lakukan sebelum ke NZ. Penggalangan dana. Yang membedakan adalah usia kami. Mereka masih SD. Nice! Perjuangan yang patut kita tiru. Ada yang merasa malu?



2. Saat berkeliling di Sunday Market, sebuah pasar tradisional yang menjual sayur dan buah-buahan. Kami bertemu dengan musisi jalanan (baca: pengamen). Seorang perempuan tua dengan gitarnya. Memainkan instrumen-instrumen klasik. Saya mendengarkan dan memperhatikan permainannya beberapa saat. Ia menyapa kami. Lalu saya beranikan diri untuk bertanya “Bolehkah saya memainkan gitar itu untukmu?”, ternyata ia dengan senang hati bersedia. Ia menyerahkan gitarnya kepada saya. Dan saya pun memainkannya, instrumen klasik “Romance”. Beberapa Kiwi’s (sebutan untuk org NZ) yang lalu lalang ada yang berhenti dan memperhatikan saya, beberapa ada yang memberikan koin. Musisi jalanan itu pun bercerita kalau ia pernah berlatih memainkan Romance saat SMP. Setelah saya memainkannya, ia berkata “Saya akan memperlihatkan permainan Romance saya padamu”. Ia pun memainkannya dengan sangat baik. Tepuk tangan mengakhiri pertemuan saya dengan nya. 

Ternyata bukan hanya di Indonesia yang banyak musisi jalanannya. Di Wellington pun begitu. Cuma bedanya, kalau di Wellington, musisi jalanan yang menggunakan gitar, memakai hardcase untuk tempat uang. Poinnya, pengamen disana udah pake hardcase untuk tempat gitarnya. Sedangkan disini, yang pake hardcase rata-rata adalah musisi yang udah profesional. Kedua di Wellington ada ijinnya untuk ngamen seperti itu, sedangkan di Indonesia tidak ada. Paling banter ijin sama preman daerahnya. Ketiga, musisi jalanan di Wellington bener-bener punya kemampuan untuk bernyanyi dan memainkan alat musik disana, tidak asal bunyi.

3. Di hari ke sekian, saya bertemu lagi dengan musisi jalanan. Tepatnya di Cuba Street, salah satu jalan utama turis di Wellington. Ibarat Malioboronya Jogja. Yang menarik dari musisi ini,  ia menggunakan speaker kecil agar suara gitarnya lebih terdengar. Dan hebatnya, ia juga menjual CD berisi rekaman instrumen gitar yang ia mainkan. Musisi jalanan yang profesional. Penasaran dengan caranya bermain gitar, saya mendekat. Dan lagi, saya bertanya bolehkah saya memainkan gitarnya. Ia membolehkannya dengan senang hati. Saya memainkannya sedikit, dan kaget ketika tahu ia menggunakan setelan gitar yang tidak lazim. Kami berbincang. Dari situ saya tahu. Benar-benar berbeda, tiap senarnya tidak sama dalam satu nada yang lazim. Beberapa senarnya sengaja di over-tone kan. Cara ia memainkan gitar juga unik. Ia memukul-mukul gitarnya, dan itu menjadi bagian dari permainannya.

Belakangan saya tau, namanya Lukas Jurry, ternyata ia bukan musisi jalanan biasa. Ia menjadi bagian dari program New Zealand’s Got Talent. Channel di youtubenya sudah diakses ribuan orang. Dari pada penasaran, silahkan liat video ini --> http://www.youtube.com/watch?v=QwayIOcw_qA. Tepat di tempat yang sama saat kami bertemu di St Cuba.

Sekian cerita untuk segmen ini. Oh iya, Ramadhan kurang dari 90 hari lagi. Yuk sama-sama siap-siap, latihan dari sekarang biar dapet malam yang lebih baik dari seribu bulan itu. Aminn :)





Total Pageviews

Tentang Saya

My photo
Yogyakarta, Sleman, Indonesia
Seperti mentari yang merona-rona. Mungkin itu alasan sekaligus harapan orang tua saya memberi nama Rona Mentari. Saya adalah juru dongeng keliling. Storytelling Activist. Dongeng menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan saya. Salam kenal! Mari bersilaturahim juga via instagram di @mentarirona

Tentang Blog Ini

Blog ini adalah catatan tulisan berdasarkan pengalaman, cerita, karya, dan berbagai cerita penulis - Rona Mentari. Kadang juga berisi celotehan kekesalan berbentuk puisi atau sekedar kegundahan tentang sekitar.

Popular Posts

Powered by Blogger.

Followers