Rona Mentari

tell a story, reap a wisdom

Menjadi Sutradara

Assalamualaikum.. Salam Indonesia!

Sutradara? Hha yang bener? Yakin sutradara? Bisa kok! Ah bisa tenang aja! Bisa nggak ya? Bisa-bisaaa, udah! Bisa? Bisa! :)


Kesenian memang menjadi salah satu dari ketertarikan saya. Salah satunya seni pertunjukan Teater yang memang udah saya ikutin sejak SD. Sampai sampai di kuliah ini saya mengambil UKM yang ada divisi Teaternya. Kafha Universitas Paramadina.
Seorang teman di UKM, sebut saja namanya Amrin (wakaka), mengajak untuk membuat sebuah pertunjukan teater. Great idea! Saya menyambut ide itu. Setelah diskusi sana sini, menimbang kanan kiri, puasa senin kamis, *haha lebay* diputuskanlah saya menjadi Sutradara teater itu. Dan teman saya Amrin sebagai pimpinan produksinya.
Tanggal 21 April, hari Kartini, menjadi momentum diadakannya teater itu. Kami punya waktu sekitar 1,5 bulan untuk berlatih, mencari sponsor, persiapan panggung, dan segala macamnya. Dalam proses sebagai sutradara itu berawal dari mencari naskah bersama penulis naskah kita, sebut saja namanya Sherly *hihihi*, Nadia *sang Ass.sut* dan Kak Mariyo (guru teater kita*) ke pusat dokumentasi sastra HB Jassin di Taman Ismail Marzuki.
Proses itu berlangsung cukup lama sampai kami menemukan sebuah naskah berjudul Wanita-Wanita Parlemen karangan ........... yang pernah disadur dan dipentaskan oleh teater koma. Belajar menjadi seorang sutradara teater memang berbeda dengan sutradara film. Kita harus benar-benar memiliki passion disini. Bayangkan saja, latihan vokal, gestur, gerak tubuh, eksplorasi, mimik, ekspresi, dan banyak lagi. Tapi lebih dari itu, proses pementasan teater adalah tentang disiplin dan komitmen. Para pemain berlatih teater sampai larut malam. Setidaknya rata-rata dari jam setengah delapan sampai jam 12 malam kita berlatih. Tapi tentu waktu digunakan sebijaksana mungkin.
Proses menuju pentas ini benar-benar menguras energi, waktu, dan pikiran. Tetapi disini juga kita banyak belajar. Banyak sekali. Bahkan saya bisa bilang, seharusnya para pekerja seni bermula dari sini, teater. Berbeda dengan aktor-aktris sekarang yang malah bermula dari model. Aneh.




Wassalamualaikumm.. salam Indonesia!

Terlibat dalam 'Budi dan Kerti'

Assalamualaikum..

Alhamdulillah, saya berkesempatan terlibat dalam syuting 30 episode awal Budi dan Kerti di TVRI yang ditayangkan setiap hari Senin-Jumat jam 8 pagi. Walaupun sebenarnya saya harus mengorbankan kuliah selama 1 minggu. Awalnya bingung memang. Tapi jika kita mengerjakan keduanya. Pasti akan setengah-setengah. Tidak akan ada yang berhasil. Jadi mau tak mau, kali ini sekali lagi saya harus memilih. Dan kali ini syuting budi kerti menjadi pilihannya. Oke. Its my turn.

Awalnya saya pikir pekerjaan ini tidak akan begitu berat. Hanya mendubbing boneka dan menggerak-gerakannya saja. Itu saya banget. Tapi, ternyata salah. Ini pekerjaan yang berat. Bekerja lebih dari 13 jam sehari. Dari jam 9 pagi sampe 12 malam. Memberikan nyawa pada boneka yang hanya memiliki satu wajah. Ibaratnya kita harus memberi nyawa boneka hanya dengan suara kita.




Ditambah berat lagi ketika fisik begitu dikuras karena saya harus mengangkat tinggi boneka yang cukup berat itu dan karena kesalahan teknis pembuatan boneka, saya harus berusaha keras dalam menggerakkan mulut bonekanya. Awalnya sungguh sangat berat. Jari-jari tangan saya kram. Tapi subhanallah, ini adalah jalan yang luar biasa.




Bertemu dengan orang-orang dengan berbagai macam jenis dan karakter, menyenangkan. Mereka semua hebat.

Saya bercuap-cuap di balik layar sambil menggerak-gerakkan boneka. Menjadi pengisi suara Budi. Seorang anak laki-laki. Hhaha, bisa dibayangkan seorang perempuan seperti saya yang harus menirukan suara anak laki-laki.





Banyak situasi yang terjadi dibalik layar. Apalagi kita menjalankan boneka sebagai pemeran utamanya. Seperti Om Pastel (salah satu kru) yang harus ‘ngesot’ kemana-mana untuk menjalankan boneka. Kami yang tidur di mana saja di area studio saat ada jam kosong. Kotornya tembok studio karena ulah anak-anak, talent syuting yang jahil. Kocaknya Om Joy (salah satu sutradara) dengan gaya ala anak-anak autis. Atau bagian kostum yang harus kejar-kejaran dengan anak-anak talent karena berlari kesana kemari. Atau Kak Kevi (partner dubbing) dan saya yang meringis sambil menggerutu di balik layar saking capeknya tapi didengar oleh Kak Ade (switcherman) karena mic dubbing kita belum mati. Sampai tangan saya yang di sengar tawon yang masuk ke boneka gara-gara tempat syuting kita di studio alam depok yang seperti hutan. Hhaha, super sekali!


Bersama Paman Apid, produser, sutradara, dan para kru yang luar biasa kami bekerja. Pekerjaan yang sebenarnya cukup menguras tenaga kita jalani saja dengan senang. Sudah seperti keluarga, walaupun saya bersama mereka dalam 10 hari saja. ‘Bersama Budi dan Kerti setiap hari....” :)

Wassalamualaikum...

Total Pageviews

Tentang Saya

My photo
Yogyakarta, Sleman, Indonesia
Seperti mentari yang merona-rona. Mungkin itu alasan sekaligus harapan orang tua saya memberi nama Rona Mentari. Saya adalah juru dongeng keliling. Storytelling Activist. Dongeng menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan saya. Salam kenal! Mari bersilaturahim juga via instagram di @mentarirona

Tentang Blog Ini

Blog ini adalah catatan tulisan berdasarkan pengalaman, cerita, karya, dan berbagai cerita penulis - Rona Mentari. Kadang juga berisi celotehan kekesalan berbentuk puisi atau sekedar kegundahan tentang sekitar.

Popular Posts

Powered by Blogger.

Followers