Rona Mentari

tell a story, reap a wisdom

Showing posts with label great experience. Show all posts
Showing posts with label great experience. Show all posts

Belajar Bercerita di Inggris (2)


“Hello Rona, We are pleased to confirm your place on the Storytelling Beyond Words course starting 25 February 2018..”


Itu adalah kalimat pertama dari email yang masuk ke saya. Alhamdulillah! Beberapa hari setelahnya saya mendapat email bahwa pengajuan diskon untuk tuition fee saya diterima. Walaupun diskon yang diberikan tidak penuh (25% dari tuition fee), tapi setidaknya ini bisa membuktikan kepada target sponsor bahwa saya layak untuk mereka dukung.

Setelah mendapat beberapa tanggal penting terkait waktu pembayaran dan pembuatan visa, saya mulai merancang target pencarian sponsor. Saya list beberapa target sponsor seperti perusahaan-perusahaan, pemerintahan, sampai orang-orang kaya yang saya kenal. Saya buat proposal, saya datang dan cerita, saya telfon sampai bosen, saya minta bantuan teman, dan seterusnya.

Hingga saya dapat dua orang yang bersedia mendukung saya secara materi. Alhamdulilah. Kadang kita nggak tau dari mana Allah nitipin rejeki kita, jadi mencoba dan percaya diri jangan sampai terlewat. Kedua orang baik ini memberikan bantuan dengan nominal yang bagi saya banyak. Tapi belum cukup untuk memenuhi biaya studi dan biaya hidup saya selama disana nanti. Masih butuh sekitar 90 persen dari total kebutuhan. Saya kemudian juga sudah mengajukan beasiswa ke program Beasiswa Unggulan Non Degree dari Kemdikbud dan ke beberapa perusahaan.

Tenggat waktu pembayaran sudah semakin dekat. Belum ada tanda-tanda pengumuman dari kemdikbud dan belum ada berita baik dari proposal yang sudah saya ajukan sebelumnya. Belajar dari nasihat para orangtua, berusaha dan terus berdoa, saya juga berusaha tetap yakin. Keyakinan ini tentu dibarengi sama usaha. Insyaallah semesta akan bantu.

…..

Alhamdulillah saya mendapat pengumuman membahagiakan dari kemdikbud. Saya mendapat beasiswa unggulan non degree. Program yang saya ajukan akan dibiayai oleh Direktorat Kerjasama Luar Negeri, dari Dirjen Kebudayaan, Kemdikbud. Walaupun sebelumnya sempat tiga kali mengajukan pemunduran tenggat waktu pembayaran ke college karena saya belum bisa membayar dengan tepat waktu. Oh iya, sayangnya, program Beasiswa Unggulan Non Degree ini sudah tidak ada lagi tahun ini. Jadi saya juga sedih saat merekomendasikan teman-teman untuk apply beasiswa ini. Tapi ternyata tahun 2018 ini tidak ada. Direktorat terkait mengalihkannya ke beberapa program residensi. Ohya, bagi yang ingin tau lebih lanjut tentang Beasiswa Unggulan, silahkan cek di beasiswaunggulan.kemdikbud.go.id

Proses ini Alhamdulillah terlewati. Intinya sih, yakin, usaha, dan doa. Insyaallah semesta akan ikut membantu mewujudkannya! (Gimana kalau nanti akhirnya benar-benar nggak terwujud? Pertama, yakin itu berarti kita percaya bahwa sesuatu itu akan terwujud. Jadi jangan terlalu banyak mikir ini sulit dulu. Tapi tetap siap ketika emang benar-benar tak terwujud. Artinya, kita percaya lagi, bahwa aka nada yang jauh lebih baik dari ini. Insyaallah!)  



Emerson College semakin dekat. Persiapan keberangkatan dimulai. Saya mulai mempersiapkan diri dengan belajar lagi Bahasa Inggris terutama reading dan speaking. Just to let you know, saya ini nggak jago Bahasa Inggris. Di SD saya dapat nilai terendah di angkatan saya untuk Bahasa Inggris. Inget banget saat itu di pelajaran Bahasa Inggris saya dapat nilai 4,6!

Pelajaran Bahasa Inggris saat SD saya anggap mirip dengan Matematika karena menggunakan rumus! Saya ingat sekali saat guru mengingatkan untuk menulis kata dalam Bahasa Inggris dengan ejaan yang benar. Karena, salah satu huruf saja, akan salah. Saya ingat, chair (kursi) adalah salah satu dari sedikit kata Bahasa Inggris yang saat itu amat saya ingat. Saya senang sekali saat mendapat soal ulangan yang diminta menuliskan kata Bahasa Inggris dari beberapa gambar. Salah satu gambarnya adalah kursi.Untuk gambar lainnya saya tidak paham benar. Tapi yang saat itu saya yakini 100 persen adalah kursi!

Hasil ulangan Bahasa Inggris dibagikan. Ada angka 4,6 di ujung kanan kertas. Ini nilai terjelek yang pernah saya dapat. Mata saya menyapu pandangan di kertas yang sedang saya pegang. Bagaimana soal ‘kursi’? Ternyata SALAH! Saya sedih sekali! Saya menulis CAIHR, bukannya CHAIR! Tuh kan, salah satu huruf saja, salah! Sebal rasanya.

Iya, itu tadi sedikit cerita tentang pengalaman saya dengan Bahasa Inggris saat masih SD. Hehe. Kembali ke persiapan. Saya memilih Mba Vani sebagai guru privat saya untuk belajar Bahasa Inggris kali ini. Beruntung punya teman yang bisa jadi guru juga. Jadinya belajarnya juga nggak malu-malu atau gengsi. Hihi.

Bersambung lagi ya. Tulisan selanjutnya, saya akan bercerita tentang storytelling course di UK. Silahkan ikuti blog ini untuk dapat info terbarunya.

Rona Mentari

x

Belajar Bercerita di Inggris

Beberapa saat lalu saya dikirimi banyak screen shoot tentang sebuah berita yang masuk line today bersumber dari brilio net. Ada saya katanya. Kaget dong, saya yang hanya seorang juru cerita ini kok bisa ada di line today? Judul beritanya seperti di bawah ini:




Lucu sekali judulnya. Lalu saya ingat, ah iya beberapa hari sebelum berangkat ke Inggris saya sempat diwawancarai di rumah oleh salah seorang wartawan brilio. Hehe terimakasih!

Dari berita itu beberapa orang yang tidak tahu jadi tahu kalau saya sedang belajar storytelling di Inggris. Nah karena netizen banyak yang tanya, saya cerita sedikit tentang studi ini.

Sekian tahun fokus di dunia dongeng dan tutur ini, saya ngerasa perlu banget belajar lebih dalam. Mulai lah saya riset kecil-kecilan cari tau tentang storytelling studies ini. Saat itu saya mengutamakan di negara yang memang sudah menjadikan storytelling sebagai bagian dari aktivitas masyarakatnya, salah satunya United Kingdom.

Ada beberapa storytelling studies yang berfokus pada course di dunia. Salah satunya di Inggris. Saya menemukan International School of Storytelling (ISOS) dibawah Emerson College di UK. Dari ke semua course itu, ISOS lah yang paling kelihatan kredibel. Tapi karena cuma lihat dari layar website, tentu butuh tanya-tanya dengan teman-teman yang sudah pernah punya pengalaman disana.

Gayung bersambut, ternyata salah satu storyteller yang saya temui di Wellington, NZ, lima tahun silam pernah belajar di course serupa di ISOS. Saya menghubunginya dan ia benar-benar menjelaskan dengan semangat tentang course ini. Singkat cerita, ia sangat merekomendasikan course ini untuk saya.

Saya jadi makin semangat. Dua tahun setelah awal saya mengenal ISOS, saya mempersiapkan diri untuk mendaftar program long course selama 3 bulan untuk storytelling ini. Pendaftarannya mungkin hampir sama dengan pendaftaran college pada umumnya. Formulir, essai, reference letter, surat sehat, dan semacamnya. Semua sudah siap dan saya pun mengirimkan seluruh kebutuhan pendaftaran.

Oh iya, biaya course ini cukup mahal, setidaknya bagi saya. Hampir 4000 pounds untuk biaya course nya saja. Belum lagi biaya hidup di UK yang nggak murah. Tapi saya selalu berpikir, usaha aja dulu, insyaallah nanti ada jalan.

Kebetulan ISOS menawarkan tuition discount application untuk kita yang memiliki kesulitan finansial untuk membayar biaya secara penuh. Saya juga mengajukan aplikasi diskon itu berharap bisa mengurangi biaya course.

Beberapa waktu berlalu hingga waktu pengumuman disampaikan melalui email.





... bersambung ke tulisan selanjutnya.



Ngenalin Trimbil di Sydney


(Mendongeng di Australia bag 3)

Saat itu seluruh storytellers dibagi ke beberapa kelas sesuai minat. Saya memilih salah satu kelas yang saat itu dimulai dengan meminta seluruh peserta memikirkan satu tokoh dalam dongeng. Yak! Baru masuk udah diminta presentasi satu-satu. Mulai deh deg-degan. Tokoh yang pertama kali terbersit di pikiran dan ngga pergi-pergi adalah si Trimbil. Tokoh dongeng saya yang sudah melegenda. Melegenda di pikiran saya sendiri, hahaha.

Karena kebetulan saat itu satu kelas dengan Simon si kartunis yang keren, saya jadi dapet ide! Yaitu menjelaskan tokoh dengan gambar. Lumayan bisa membantu, pikir saya. Tapi jangan dibandingkan gambar saya dengan Simon si kartunis, tentu bagai pinang dibelah dua, tapi yang satu dimakan Codot. Nggakpapa, setidaknya saya masih punya sisa-sisa ilmu menggambar yang diajarkan guru gambar saya saat masih SD.

Tibalah giliran saya. Saya minta ijin kedepan untuk menggambar di flipchart. Sekitar 30 detik berlalu dan jeng-jeng-jeng. Inilah gambar saya tentang sosok Trimbil. Saya menjelaskan sedikit detail-detail tentang Trimbil. Seperti kegundulannya, sarung yang selalu dia pakai, dan kakinya yang selalu dihiasi sendal jepit. Cringgg..! *Lah kok mirip Upin Ipin? XD

Semua orang mengangguk-angguk lalu bertepuk tangan. Dan saya pun berhasil memperkenalkan Trimbil di Sydney. Trimbil selamat ya...!  


suasana kelas (2)

Suasana kelas (2). Kalau jeli, gambar Trimbil ada di flipchart yang kecil.

Kurang jelas? Ini lebih dekat. Plis jangan diketawain. Plis!

- Rona

Dongeng Dari Timur

Dongeng Dari Timur adalah sebuah projek yang bertujuan untuk menanamkan nilai anti korupsi sejak dini melalui dongeng.

Projek ini adalah kolaborasi saya dengan Maxima Indonesia dan teman-teman kolaborator lainnya seperti Forum Indonesia Muda, Angkatan Perubahan, dan tidak menutup kemungkinan dengan teman-teman komunitas lainnya, kami terbuka.

"Nggak usah ngomongin anti korupsi deh, nanti banyak musuhnya" kata seseorang kepada kami saat memaparkan projek ini. 

Ya, projek ini dimulai April lalu, itu pun sambil memanfaatkan projek lain Maxima Indonesia di NTT. Antusiasmenya luar biasa. Saya menangis melihat binar kanak-kanak di Kupang saat itu. Bukan hanya anak-anak, para pendidik yang hadir dalam Kelas Mendongeng juga begitu antusias. Bahkan mereka menindaklanjuti dengan membuat sebuah Komunitas Badongeng NTT. 

Tapi antusiasme mereka ternyata belum sama dengan antusiasme donor. Sampai saat ini kami masih berjuang mendapatkan donor untuk projek ini. Semoga satu titik awal di Kupang ini bisa dilengkapi dengan 9 titik lain di timur Indonesia. Projek ini terbuka untuk kolaborasi. Teman-teman di timur Indonesia silahkan mengajukan daerahnya melalui kontak di video kedua dibawah ini.

Tentang mengapa dongeng, mengapa anti korupsi, dan mengapa timur saya jelaskan di video pertama yang dibuat oleh teman-teman penggerak di NTT melalui NTTalks dibawah ini.






Berangkat Sendiri


Mendongeng di Sydney (bag 3)


Beruntung! Walaupun akhirnya saya berangkat sendiri, ada teman baik yang sudah menunggu dan siap untuk direpotin di Sydney. Septa namanya, temen dari SMA yang pas banget lagi kuliah di Sydney. Setidaknya, Septa yang akan menuntun jalan saya yang nggak tau apa-apa soal Sydney. Sekaligus bisa numpang nginep di flat nya. 

Saya sendirian dalam perjalanan ke Sydney, dianter Bunda Tatty Elmir saat itu ke bandara Jakarta. Bunda juga bantu menyiapkan beberapa hal terkait pakaian, makanan, dan wejangan-wejangan buat anak ketemu gedenya ini yang belum pernah jalan sendirian ke luar negeri.
Perjalanan lancar saja. Sok tenang walaupun sebenernya ketar-ketir. Transit bentar di KL terus lanjut direct flight ke Sydney. Perjalanan lumayan ngebosenin karena pake maskapai low cost tanpa hiburan di kursi. Tapi nggak papa. I’m on my way to tell a stories in Sydney! There is nothing more amazing than this! 
 
Perjalanan lancar saja. Mulai ketar ketir lagi saat sampai bandara Sydney, ada anjing pelacak lah, security check super ketat lah, sampai kekhawatiran ngga langsung nemu Septa nanti di Bandara. Tapi kekhawatirannya ndak lama, setelah lolos dari anjing pelacak. Septa sudah stand by di pintu keluar. Dan yeay! Kami heboh bertemu di bandara.

Alhamdulillah! Dimulailah petualangan kami di Sydney. 


Septa sudah menyiapkan kartu multitrip untuk semua angkutan umum massal yang akan saya pakai selama di Sydney. Jadi langsung naik bis deh ke arah flat nya di Randwick. Randwick ini ternyata terkenal sama horse racing nya. Sayang nggak sempet liat pertandingannya selama disana :(

Sampai di flat Septa, saya mengeluarkan bekal terberat *seriusan berat*. Apa itu? Koin dollar! Berapa jumlahnya? 400 dollar! Haha, jadi salah satu saudara saya memberi bekal uang 400 AUD tapi dalam bentuk koin. Septa sampai geleng-geleng kepala. Tapi jangan khawatir, tetap berlaku disana.

"Kita ke bank habis ini, kita tuker pake uang kertas aja", kata Septa.

Setelah kita hitung manual di rumah, dibawalah koin-koin itu ke bank. Ada mesin otomatis yang menghitung. Kita tinggal masukin aja ke mesinnya dan biarkan mesinnya memakan koin-koin kita. Keluar deh jumlahnya dalam bentuk kertas. Baru kita tukarkan di teller.

"darimana kalian dapat koin sebanyak ini?", kata teller nya keheranan.
"hadiah dari saudara", kata kami sambil tertawa. 

Yeay alhamdulillah, pulanglah kami dengan tambahan uang di kantong.

Dukungan Mendongeng di Sydney

Sempet kebingungan awalnya, duit yang dibutuhkan nggak sedikit. Jual hengpong jadul saya kalo dilipatgandakan jadi 50 kali juga nggak bakal cukup. Terus tiba-tiba inget saat usaha cari dana buat ke NZ dua tahun sebelumnya, sampe ngamen-ngamen segala. Eh tapi pada akhirnya dapat juga. Allah memang mau liat usaha kita. Yaudah, yakin aja bisa. Sekarang waktunya usaha.


Pertama, lapor dulu sama keluarga, biar mereka ikut bantu dukung dan doain. Ohya, di masa seperti ini, jejaring pertemanan sangatlah penting. Bukan hal yang tidak mungkin kalau ternyata misal, kita dapat bantuan dari kakek, paman, istri, tetangganya teman kamu! Misalnya.

Akhirnya dibuatlah proposal sebaik mungkin berbekal acceptance letter dari committee-nya Sydney International Storytelling Festival. Saat itu saya bikin bareng kakak. Kami berencana berangkat bertiga. Ngajuin kemana-mana. Pakai jejaring pertemanan. Banyak yang respon dan berniat bantu. Setidaknya kasih informasi kontak bagian terkait sponsorship. Usaha aja. Papa juga ikut bantu, terutama bantu meyakinkan saya kalau insyaallah bisa dapat, yang penting usaha. Walaupun ketar ketir juga karena waktu makin dekat. Belum bikin visa, belum kalau tiketnya naik terus.

Ternyata dari jejaring pertemanan, ada satu perusahaan tempat teman saya bekerja yang merespon baik proposal saya. Ia bekerja di salah satu anak perusahaan Pertamina - Pertamina Hulu Energi Offshore Northwest Java (PHE ONWJ). Melalui teman tersebut, saya dihubungkan dengan bagian terkait yang ternyata juga menyambut baik proposal ini. Beberapa kali berbalas email dan ngobrol tentang beberapa kesepakatan, PHE ONWJ akhirnya memutuskan memberi saya sejumlah dana. Wow! Senang sekali! Alhamdulillah! Jumlahnya memang belum menutup total biaya, tapi ini jadi suntikan semangat untuk berjuang cari dana penuh.

Akhirnya nggak kerasa sudah sekian waktu berlalu, belum ada progres lagi terkait dana walau sudah prospek kesana kemari. Makin ketar ketir dong. Hingga akhirnya Papa telfon. Ternyata ia baru saja bertemu dengan Pak Dirjen Kebudayaan yang saat itu dijabat Pak Prof. Kacung Marijan, Ph. D secara tidak sengaja pada sebuah acara. 

Papa yang teringat anaknya lagi berjuang terseok-seok buat dapet dana untuk bisa mendongeng tentang Indonesia di luar negeri ini, kemudian sempat ngobrol dengan dengan Pak Kacung Marijan.


Dari obrolan singkat tersebut, tanpa diduga, Pak Dirjen memberikan jalan untuk saya dapat berangkat mendongeng ke Sidney melalui dana dari dirjen kebudayaan Republik Indonesia. Pak Dirjen tau ada anak bangsa yang ingin mengharumkan nama negara melalui dongeng di luar negeri. Ia tahu gimana pentingnya dongeng dalam kehidupan tutur bangsa ini. Dia kasih kesempatan. Senang sekali!

Setelah mengikuti prosedur birokrasi dan bolak-balik ke kantor dirjen, dana untuk mendongeng di Australia akhirnya cair. Saya akan berangkat sendiri karena dirjen kebudayaan hanya membiayai kebutuhan saya. Tentu tak masalah jika dibandingkan dengan pilihan tak jadi berangkat. Alhamdulillah! Saya pun bersiap!

Bersambung



Mendongeng di Australia!


Sebenernya pengalaman ini udah dua tahun berlalu, tapi belum sempet ditulis. Semoga masih ada manfaatnya jika dibaca sekarang, terutama buat saya sendiri.

Pengalaman mendongeng di sebuah acara monthly storytellers event di Wellington, New Zealand, membawa saya mengenali lebih jauh tentang dunia storytelling di luar negeri. Banyak “oh begini to...” dalam pikiran saya. Menarik sekali. Hingga karena keterbukaan teman-teman di New Zealand, mereka mengundang saya bergabung dalam sebuah grup facebook beranggotakan para storyteller di New Zealand. Saya sangat tersanjung.

Obrolan grup sama seperti kebanyakan grup lainnya. Mereka banyak sharing tentang dunia storytelling. Dari situ saya banyak belajar. Hingga suatu ketika ada sebuah pengumuman seleksi storyteller untuk tampil dalam Sydney International Storytelling Conference 2014. Tertarik banget untuk ikut seleksi ini, walau kemudian sempet jiper juga karena kepikiran “emang aku bisa apa?”. 

Tapi dibuang jauh-jauh lah pikiran pikiran itu. Percaya diri aja dulu dan apa salahnya mencoba?

Akhirnya memberanikan diri ikut deh seleksinya. Bikin dua video mendongeng. Direkam di studio kampus. Minta tolong Endar, si adek kelas baik hati, buat ngrekamin waktu itu. Daftar deh.

Hari H pengumuman pun tiba. Belum ada email masuk. Sampe hampir lewat hari—kalo di Indonesia. Insecure dong, terus kirim email ke panitia, memastikan apakah lolos atau tidak, apakah jika tidak terima email berarti ga lolos, dan seterusnya dan seterusnya. Eh, ting! Dibales dengan cepat, katanya minta maaf terlalu lama pengumumannya karena tingginya antusiasme pendaftar. Iseng cari di email, ternyata masih ada, ini dia cuplikannya:

“Dear Rona,
The emails are just going out now. There were a large number of proposals this year. We are happy to confirm that you have been selected to tell a story at the Family concert on Sunday afternoon June 8th.
The Selection committee would like your second story with the larger puppet to be edited a little to present in a slightly shorter time.  Your inclusion in the program would be wonderful and offer a lovely insight into your culture.

.......”

Wah bahagia banget! Tapi bahagianya cuma bentar. Karena dilanjutin mikir gimana caranya dapet uang untuk beli tiket dan akomodasi disana. Panitia memang tidak memfasilitasi tiket atau akomodasi. Ini adalah hal biasa dalam storytelling festival yang membuka open proposal untuk international storyteller atendee. Saya sih belum pernah menemukan yang provide tiket atau akomodasi.

Tapi ini kesempatan besar, dan acceptance as a selected storyteller saya fikir bisa jadi bahan untuk cari donor.

-bersambung

"Mempertahankan #BatikIndonesia di Tanah Mataram"

Kehadiran batik di Yogyakarta seperti nafas yang menghidupi warganya. Dari lahir hingga tutup usia, batik mengiringi hampir di semua tradisi. Kebutuhan yang tinggi atas permintaan batik, menjadikan industri batik di Yogyakarta tidak pernah mati suri. Meskipun digempur kain bermotif batik, nyatanya eksistensi batik tulis tetap tinggi. Berikut adalah catatan hasil pelesiran saya dan kakak, ke museum dan beberapa sentra batik di Yogyakarta dan sekitarnya.

Usaha mempertahankan batik menjadi upaya yang susah payah. Sejak Batik di nobatkan sebagai warisan kekayaan dunia, tahun 2009, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali menyelaraskan irama. Kekuatan batik sebagai nilai budaya dan industri dijadikan panutan. Kedua aspek ini pula yang mengantarkan DIY sebagai Kota Batik Dunia.

Tahun 2014, sebutan itu disematkan oleh World Craft Council (WCC). Selain dua aspek di atas, nilai ekonomi dan nilai historis, terdapat lima aspek lainnya. Yaitu orisionalitas, regenerasi batik, ramah lingkungan, reputasi internasional, dan persebaran daerah batiknya.

Mataram Kuno
Kemunculan industri batik di Yogyakarta tidak lepas dari pengaruh Kraton. Pada abad 16, Batik hanya digunakan oleh keluarga dalam kerajaan. Desa Pleret, Bantul disebut sebagai daerah pembatikan pertama. Para wanita abdi dalem diminta nitiki, nyelup, dan nglorot batik. Dulunya, Pleret merupakan cikal bakal Mataram Kuno. Yang menjadi sentra kerajinan pada zamannya. Setelah kraton dipindah, kebiasaan membatik ikut tergerus. Kini, batik khas dari Pleret yang masih eksis adalah Batik Nitik.

Sekitar tahun 1800 an batik mulai digunakan masyarakat di luar kraton, namun masih sangat terbatas. Penggunaannya juga masih berdasarkan kelas sosial. Afif Syakur (50), pengusaha batik Yogya menggambarkan 4 jenis batik pada masa itu. Batik Larangan yang digunakan hanya untuk keluarga Kraton. Batik Saudagaran yang dipakai oleh orang-orang kaya. Batik Asing yang biasa digunakan oleh warga Cina dan Belanda. Terakhir, Batik Rakyat untuk para petani.

Kampung Batik pada masa itu juga mulai menjamur. Terdapat beberapa wilayah, antara lain di Giriloyo, Tamansari, Prawirotaman, dan Tirtodipuran. Hasil produksi batik dari empat wilayah itu kemudian dijual di Pasar Beringharjo. Kala itu, Pasar Beringharjo berfungsi sebagai tempat strategis transaksi dagang. Lokasinya yang tidak jauh Kraton, Stasiun Tugu, dan jalan protokol menjadikan tempat persinggahan para pedagang.

Kini keempat wilayah itu sudah mulai berganti fungsi. Prawirotaman dan Tirodipuran sudah dipenuhi hotel dan penginapan untuk wisatawan. Yang tertinggal hanya bangunan-bangunan tua besar, bekas pembuatan batik. Tamansari masih bertahan meski berjalan pelan karena harus bersaing dengan jenis batik cap dan kain bermotif batik. Lokasinya yang berhimpitan dengan wisata Taman Sari, turut menghidupi para pembatik di wilayah itu.

Seorang pembuat batik tulis di Taman Sari, Sawitri Kartika (58) salah satu pembatik yang masih melestarikan batik tulis. Wanita paruh baya ini meneruskan tradisi membatik dari eyangnya, Atmo Suwanindro. Satu lembar batik tulis menghabiskan waktu hampir 2 bulan. Untuk menghidupi keluarganya, keduanya membuat batik kombinasi. Maklum, tidak sembarang turis yang menginginkan batik tulis.

Bu Sawitri, pembatik asli Tamansari.
Bu Tuti, juga pembatik asli Tamansari.


Berbeda dengan kampung batik yang lain, Giriloyo mampu berdikari hingga saat ini. Meski sempat pasang surut karena bencana gempa, kini mampu bangkit dengan bantuan LSM dan pemerintah. Pembatik Giriloyo, dulunya adalah abdi dalem yang tinggal di sekitar Imogiri untuk menjaga makam raja-raja Kraton. Kebiasaan membatik itu turun temurun ditularkan hingga saat ini.

Batik Giriloyo terkenal kekhasanya dengan tetap mempertahankan pemakaian pewarna alam. Meski mengaku sulit mendapatkan bahan baku pewarna alam, namun kebiasaan itu tetap dilakukan. Hingga kini, Giriloyo kini eksis memasarkan batiknya lewat website.

Para pembatik diayomi dalam paguyuban. Lewat paguyuban Batik Tulis Giriloyo, setiap anggota dapat berbagi keluh kesah dalam produksi dan penjualan batik. Selain itu, pariwisata juga dihidupkan untuk mengundang masyarakat ke kampung batik.

Tahun 1970 an mulai muncul kain bermotif batik atau biasa dikenal batik print. Sedangkan di tahun 1980 an berkembang lukisan batik sebagai turunan batik modern. Setelah itu semakin berkembang seiring kebijakan penggunaan seragam batik.

Nilai Ekonomi Batik

Nilai ekonomi yang dihasilkan produk batik menciptakan banyak bisnis turunannya. Bukan hanya batik tulis, cap, dan kombinasi, namun aksesori berhias batik tumbuh subur. Contohnya tas batik, sepatu/ sandal batik, dan ukiran batik. Salah satunya berasa di Desa Krebet, Bantul yang mengembangkan sentra kerajinan kayu batik.

Menurut data dari Dinas Perindustrian dan Koperasi DI Yogyakarta roda bisnis batik berjalan dengan 715 unit usaha batik pada tahun 2015. Jenis batik yang dihasilkan meliputi batik tulis, cap tulis, cap, lukis, dan kombinasi. Hingga tahun 2015, tenaga kerja yang terserap oleh industri ini menyentuh angka 2.760 pekerja. Selain itu nilai produksi yang dihasilkan mencapai 78 miliar.

Unit usaha batik di Yogyakarta cenderung meningkat. Dari 649 di tahun 2011, menjadi 715 di tahun 2015. Serapan tenaga kerja tersebar di seluruh kota kabupaten. Daerah yang paling padat karya adalah Kabupaten Bantul. Hingga tahun 2015, sebanyak 46 persen pekerja industri batik berasal dari wilayah Projotamansari ini. Sedangkan nilai produksi juga meningkat stabil setiap tahunnya. Hanya satu tempat yang mengalami penurunan nilai produksi, sebanyak 3,8 persen (2015), yaitu Kabupaten Kulonprogo.

Bahan baku pembuatan batik di Yogyakarta, masih didatangkan dari daerah lain bahkan impor. Bahan baku batik tulis salah satunya berasal dari Toko Sidojadi dan Wongin. Keduanya terletak di Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta. Kedua tempat ini sudah tersohor.

Alur distribusi batik tergantung dari jenis batiknya. Kalau batik tulis, alur distribusinya semakin pendek, karena konsumen langsung menyasar ke penjualnya. Sedangkan yang berada di pasar dan toko, biasanya banyak batik cap dan kombinasi cap tulis. Secara keseluruhan, alur distribusi batik di Yogyakarta semakin mendekati tempat wisata, alur distribusinya semakin pendek. Hal ini semakin membuktikan bahwa pariwisata pun turut menghidupkan industri batik.

Menghidupkan Batik
Andil masyarakat dalam membumikan batik juga tinggi. Selain anjuran pemakaian seragam batik untuk pegawai negeri sipil dan anak sekolah, masyarakat pun tidak sungkan menggunakan batik dalam berbagai kegiatan formal dan informal. Dinas Pendidikan Yogyakarta menjadikan materi Batik sebagai kurikulum. Yaitu di SMK Negeri 5 Yogyakarta dan SMK Batik Gunung Kidul.

Setiap kota/ kabupaten di Yogyakarta memiliki ciri khas motif batik. Misalnya, Kulonprogo memiliki motif Geblek Renteng, Bantul dengan motif Pandak Asmoro, dan Sleman dengan nama Sinu Parijoto. Keberagaman motif batik itu juga akan menarik minat pembeli batik.
Selain dukungan dari pemerintah, Paguyuban Sekar Jagad di Yogyakarta menaungi lebih dari 300 an pembatik dan pengusaha aktif batik. Kegiatan paguyuban ini antara lain “Kepyakan Batik”, yaitu mengerjakan batik tulis dengan banyak orang. Sehingga menyerap tenaga kerja lebih banyak.
Yang tidak kalah penting, status Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata turut berpengaruh dalam mendatangkan wisatawan. Setiap hari, penerbangan langsung menuju Yogyakarta lebih dari 40 penerbangan. Pelancong selalu menjadikan batik sebagai buah tangan.
Industri batik di Yogyakarta sudah satu tahap lebih maju dibanding wilayah lain. Bukan lagi soal memperkenalkan batik tetapi mempertahankan batik. Dibutuhkan lebih banyak inovasi untuk meningkatkan repeat buying. Konsumen datang dari berbagai macam latar belakang dan selera. Untuk mengakomodasi hal tersebut, manajemen produk sangat dibutuhkan.

Julukan Kota Batik Dunia patut disyukuri. Kini pemerintah dan masyarakat harus gotong royong menjaga ketujuh aspek itu agak terus terpenuhi. Dari sisi budaya, orisinalitas, regenerasi, dan reputasi. Kesemuanya berjalan beriringan supaya batik tetap tumbuh menjadi tradisi dan industri.

Di depan lembaran kain batik yang dipamerkan di Museum Batik Yogyakarta.

Kakak dan Jani di depan puluhan alat cap batik di Museum Batik Yogyakarta.


(Rona Mentari dan Putri Arum Sari)





Total Pageviews

Tentang Saya

My photo
Yogyakarta, Sleman, Indonesia
Seperti mentari yang merona-rona. Mungkin itu alasan sekaligus harapan orang tua saya memberi nama Rona Mentari. Saya adalah juru dongeng keliling. Storytelling Activist. Dongeng menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan saya. Salam kenal! Mari bersilaturahim juga via instagram di @mentarirona

Tentang Blog Ini

Blog ini adalah catatan tulisan berdasarkan pengalaman, cerita, karya, dan berbagai cerita penulis - Rona Mentari. Kadang juga berisi celotehan kekesalan berbentuk puisi atau sekedar kegundahan tentang sekitar.

Popular Posts

Powered by Blogger.

Followers