Tepat dua hari lalu
Saat canda dan sapa selalu ada diujung meja kayu.
Pojok kantin kampusku.
Hangat memeluk kami yang jelas jelas tak padu.
Namun harmoni dalam nyanyian merdu.
Sampai sosokmu samar beradu.
Diantara silauan matahari di langit biru.
Sang bunga yg menghiasi halaman rumahku.
Tapi bukan bunga yang terakhir kutemui dulu.
Hati menderu.
Kemana mahkotamu?
Kemana kilauan madumu?
Aku tahu kau tentu juga menderu.
Kau mungkin tau apa isi deruan hatiku.
Kita hanya tertawa saat itu.
Aku berusaha tak kelu.
Padahal ada gemuruh yang amat pilu.
Aku berusaha tak kaku.
Padahal mendadak tubuhku menjadi bongkahan es batu.
Aku mencoba biasa saja dan bertanya kabar madumu.
Kau jawab dan akupun menanggapi dgn lagu.
Padahal fikirku bertanya penuh liku.
Hingga ketika berpisah saat itu.
Ada yang tumpah dari dada kiri dan meleleh di indera penglihatanku.
Dimana mahkotamu?
Dimana kilauan madu?
Aku patah hati oleh rindu.
Atas dirimu yang baru.
Memang aku ini siapa, katamu.
Iya, aku hanya pengagum kilauan madumu.
Kau ada di halaman rumahku.
Walau kita jarang bertemu.
Aku tahu benar, dirimu yg merdu.
Wahai bunga di halaman rumahku.
Kamu masih bunga tentu.
Aku tahu itu.
Masih indah warnamu.
Aku tahu itu.
Masih segar wangimu.
Aku tahu itu.
Tapi aku juga tak sabar melihat dirimu yang baru.
Dengan mahkota dan madu yang baru.
Dengan jiwamu.
Yang baru.
Mentari, 03.55am
Saat canda dan sapa selalu ada diujung meja kayu.
Pojok kantin kampusku.
Hangat memeluk kami yang jelas jelas tak padu.
Namun harmoni dalam nyanyian merdu.
Sampai sosokmu samar beradu.
Diantara silauan matahari di langit biru.
Sang bunga yg menghiasi halaman rumahku.
Tapi bukan bunga yang terakhir kutemui dulu.
Hati menderu.
Kemana mahkotamu?
Kemana kilauan madumu?
Aku tahu kau tentu juga menderu.
Kau mungkin tau apa isi deruan hatiku.
Kita hanya tertawa saat itu.
Aku berusaha tak kelu.
Padahal ada gemuruh yang amat pilu.
Aku berusaha tak kaku.
Padahal mendadak tubuhku menjadi bongkahan es batu.
Aku mencoba biasa saja dan bertanya kabar madumu.
Kau jawab dan akupun menanggapi dgn lagu.
Padahal fikirku bertanya penuh liku.
Hingga ketika berpisah saat itu.
Ada yang tumpah dari dada kiri dan meleleh di indera penglihatanku.
Dimana mahkotamu?
Dimana kilauan madu?
Aku patah hati oleh rindu.
Atas dirimu yang baru.
Memang aku ini siapa, katamu.
Iya, aku hanya pengagum kilauan madumu.
Kau ada di halaman rumahku.
Walau kita jarang bertemu.
Aku tahu benar, dirimu yg merdu.
Wahai bunga di halaman rumahku.
Kamu masih bunga tentu.
Aku tahu itu.
Masih indah warnamu.
Aku tahu itu.
Masih segar wangimu.
Aku tahu itu.
Tapi aku juga tak sabar melihat dirimu yang baru.
Dengan mahkota dan madu yang baru.
Dengan jiwamu.
Yang baru.
Mentari, 03.55am
0 komentar:
Post a Comment