Beberapa waktu yang lalu,
saya sempat rutin mendongeng untuk pasien anak di sebuah rumah sakit di
Jakarta. Kegiatan itu adalah bagian dari aktivitas kerelawanan dari sebuah
komunitas pencinta bacaan anak. Biasanya saya dan teman-teman relawan lain akan
membawa buku dongeng dan membacakannya. Atau membawa boneka jari untuk kemudian
diberikan sebagai hadiah.
Jangan bayangkan kita
mendongeng dengan banyak anak berkumpul. Bukan seperti itu. Kami akan menyebar
dan masuk dari satu pintu ke pintu lainnya untuk menghampiri pasien anak.
Anak-anak disini terlalu lemah untuk bisa beranjak dari tempat tidurnya.
Biasanya, satu ruangan terdiri dari enam anak. Tidak semua anak bisa
didongengi. Ada yang sedang tidur, ada yang kondisi fisiknya tidak memungkinkan
untuk bisa mendengarkan dongeng, ada juga yang tidak mau, tapi yang terakhir
ini jarang sekali.
Saya akan berkenalan
setelah memasuki ruangan, dan meminta ijin dulu kepada orangtuanya. Hampir
semua orangtua senang dan mempersilahkan kami mendongeng. Tak jarang beberapa
orangtua terharu saat kami datang mendongeng, mereka kemudian akan bercerita
banyak hal, giliran kami yang mendengarkan.
Dongeng biasanya
disampaikan ke satu anak, atau terkadang tiga anak sekaligus, tergantung
kondisi mereka. Melihat mereka tertawa dan tersenyum mendengar dongeng saya
adalah hal yang sangat menyejukkan. Terkadang justru saya yang harus
benar-benar menahan haru karena melihat kondisi mereka. Sering saya sengaja
tersenyum lama sendiri sebelum masuk ruangan pasien anak, ceritanya membangun
kekuatan diri. Ya, kita tetap harus terlihat menyenangkan dihadapan mereka.
Suatu ketika, saya
mendongeng kepada satu pasien anak perempuan. Sebut saja namanya Cinta. Sekilas
tak ada yang aneh dari wajahnya. Lebih tepatnya, ia tak terlihat seperti anak
yang sakit. Tapi ternyata saya salah, ia mengidap sakit yang cukup parah. Binar
wajah kanak-kanaknya memang terlihat menggemaskan, tapi fisiknya lemah. Hanya
bisa terkulai di tempat tidur. Cinta adalah seorang anak usia 6 tahun dengan
rambut sebahu. Matanya bulat, wajahnya teduh berkulit sawo matang. Saat saya
minta ijin mendongeng, ia meresponnya dengan kedipan mata dan anggukan sangat
pelan, mau. Ia memang terkulai lemah di tempat tidur, tapi ia memperhatikan
dongeng saya dengan baik. Matanya merespon banyak. Sesekali ia memiringkan
tubuhnya. Beberapa kali saya beratraksi seperti mendongeng didepan ratusan
anak. Bergaya seperti hewan yang ada dalam dongeng. Ia tersenyum simpul. Saya
senang sekali. Wajahnya makin menggemaskan dihiasi senyum. Beberapa kali ia
tersenyum, saya jadi makin semangat mendongeng. Hingga sampailah dongeng pada
akhir kisahnya. Ia masih tersenyum. Gerakannya sangat pelan saat ia tersenyum,
ia benar-benar lemah. Tapi tak apa, yang penting ia tersenyum!
Saya pamitan dengan Cinta.
Menciumnya. “Cepet sehat ya sayang..”. Kemudian pamit dengan ibunya. Matanya
berkaca-kaca. Sang ibu mendekatkan mulutnya ke telinga saya, “terimakasih ya
mbak, ini untuk pertama kalinya dia tersenyum sejak kemarin..”. Mata kami
beradu. Saya ijin keluar ruang. Kali ini saya yang tak bisa menahan haru. (Rona
Mentari)
(Sumber foto: Google
Images)