Bismillahirrahmannirrahim..
Perbincangan
saya dengan Moira, salah seorang teman di Wellington, sampai juga pada storytelling. Hingga kemudian ia memperlihatkan sebuah
informasi kecil di sudut koran tentang storyteller event di art gallery di
Wellington. Wow! Moira meminta saya untuk datang, ia kenal beberapa orang disana. Dan tentu saya ingin
datang, walau tak tahu pasti dimana tempatnya.
Beberapa hari setelah pertemuan saya dengan Moira, sebuah email masuk,
Moira mengatakan ia bisa datang. Dan kita bisa berangkat bersama.
Alhamdulillah. Ia mengajak saya untuk makan malam dulu dirumahnya sebelum berangkat.
Sehari
sebelumnya, saya sms Moira, memastikan acara itu. Ia bilang, oke dan meminta
saya untuk menyiapkan cerita. Saya kaget. Bercerita di event storyteller di
luar negeri itu memang keinginan saya. Tapi saya gugup luar biasa saat itu,
saya bilang pada Moira. Moira membalas, “tenang saja, kamu pasti bisa.
Bukankah bercerita itu yang dilakukan storyteller kan? Nanti latihan dulu di
rumah saya ya”. Sms balesan Moira membuat saya malu sekaligus sadar. Beberapa
saat saya mempersiapkannya. Dan saya datang bersama Nayla, teman saya, untuk acara itu. Di
rumah Moira kami dijamu makan malam. Tumis sayur, salad dengan buah dan sayuran
segar, serta nasi merah. Hmmm. Unik! :D
-
Kami bertiga
menuju ke Toi Poneke, tempat acara story teller cafe berlangsung. Dengan naik
cable car. Seru. Sampai disana ternyata sudah dimulai. Kami terlambat 10 menit.
Yap, mereka memang tepat waktu. Teman Moira menyambut kami, dan mempersilahkan
kami masuk. Kami segera menempatkan diri di beberapa kursi yang kosong. Pembawa
acara sedang asik memberikan penjelasan. Dan mulai memanggil satu per satu
pendongeng yang akan tampil. Tiap dongeng disampaikan dalam waktu maksimal
kurang lebih lima menit.
Melihat
sekeliling saya cukup heran, karena tidak ada anak-anak disini. Perkumpulan
storyteller ini didominasi orangtua usia 40-50 tahunan. Ada beberapa yang
mungkin 20 tahunan, tapi hanya sedikit. Saya merasa paling muda disini.
Diawali dengan
penampilan Toni, bapak umur 50 tahunan. Dan wow! Diluar ekspektasi saya,
ternyata ia menyampaikan kisahnya dengan baik dan menarik. Ternyata saya tertipu
oleh usianya. Dilanjutkan oleh seorang ibu umur 40 tahunan. Berkulit hitam dan
mengawali kisahnya dengan nyannyian sambil melambai-lambaikan selendangnya.
Kegiatan yang sama pun dilakukan setelah kisah selesai. Sepertinya ini semacam
tradisi. Perempuan ini juga berceria dengan sangat baik, ia menceritakan kisah
di keluarganya saat ia masih kecil. Dan, ia adalah satu-satunya orang di acara
itu yang mengucapkan “Assalamualaikum” kepada saya. Ternyata ia pernah tinggal
di Kuwait.
Dilanjutkan
dengan beberapa penyampaian kisah oleh pendongeng lainnya. Tak jarang gelak
tawa terdengar dari kami yang menonton. Gerak dan ekspresi mereka memang lucu.
Kami terhibur. Ada yang menggunakan nampan untuk menciptakan suara tapak kaki
berjalan. Ada yang mengetuk tembok. Ada yang lompat-lompat. Benar-benar unik
dan menjadi wawasan baru dalam cara bercerita. Hingga tiba giliran saya, Moira
teman saya, ternyata sudah menyampaikannya pada panitia. Saya pun maju dengan
membawa Gareng, wayang yang menjadi salah satu media saya dalam bercerita.
Alhamdulillah,
Allah menenangkan saya. Ternyata latihan di rumah Moira tadi sangat berguna!
Terimakasih Moira.
Saya
mengawalinya dengan memperkenalkan diri. Interaksi dan teaterikal saat saya
mendongeng, menjadi alat yang ternyata berhasil menarik perhatian penonton. Saya berdialog dengan wayang. Lucunya, saat saya menyampaikan suluk wayang menggunakan bahasa Inggris, mereka tertawa.
Dan lebih dari itu semua, pesan dari dongeng itu sampai, insyaallah. Ya, saya bercerita tentang bagaimana ujian itu terkadang kita takuti, tapi
padahal ketika kita telah masuk kedalam ujian itu, kita pasti akan bisa
melewatinya, karena Allah tidak akan memberikan ujian yang melebihi kemampuan
umatnya. Ini sebenarnya nilai islam dalam quran, dan ini adalah cara dakwah
saya.
Saya menutupnya
dengan gaya wayang yang menggunakan bahasa Jawa total. Jelas mereka tak
mengerti, tapi tak apa, hingga saya harus mengatakan “thats all!” untuk
menyadarkan penonton bahwa saya telah selesai. Dan masyaallah, tepuk tangan
terdengar dari mereka, lama. Aku melihat wajah Moira, ia terlihat paling bahagia, dan saya, tak bisa disini tanpanya.
Saya pun kembali ke tempat duduk, pembawa acara menanyakan berapa lama saya disini, dan saya bilang sampai tanggal sekian. Mereka kecewa, berharap saya lebih lama di Wellington, subhanallah. Pembawa acara mengucapkan terimakasih kepada saya, dan saya dengan spontan bilang "Thanks to Moira”, ya saya berterimakasih pada Moira yang telah membawa saya kesini. Moira pun tersenyum lebar lalu berdiri dan memberikan penghormatan kepada penonton lain.
Setelah sepuluh
pendongeng tampil, kami beramah tamah sebentar. Mereka sangat mengapresiasi
saya. Beberapa orang menyapa duluan. Bahagia. Mereka pendongeng-pendongeng yang
keren!
Seseorang
lainnya menyapa saya, Anna namanya, ia seorang dalang juga di Wellington. Ia
menggerakkan boneka dan bercerita dengan peralatan-peralatan miniatur unik yang
ia buat sendiri. Kami berbincang sedikit dan tukar kartu nama. Ia tertarik
dengan wayang kulit yang saya bawa dan ia mengajak saya untuk melihat wayang
kulit serupa di Wellington. Wah benar-benar menarik. Ia mengatakan bahwa di
Wellington ada yang punya wayang kulit lengkap dengan gamelannya.
Sebuah pengalaman berharga. Alhamdulillah.
Pertanyaannya, lalu kenapa di
Indonesia, tradisi bertutur seperti mendongeng yang baik ini tidak dilanjutkan?
Kini, ketika segala sesuatunya
sangat mudah di akses, budaya kita bersaing dengan tradisi luar. Dan sayangnya,
kita lebih bangga mengikuti tradisi luar dibanding tradisi kita sendiri. Kita
bangga menggunakan produk-produk budaya pop yang justru menjauhkan kita dari
tradisi lokal. Ketika kita duduk bersama, tangan kita tidak jauh-jauh dari hp.
Jadilah kita lebih sibuk dengan hp kita dibanding dengan lingkungan sekitar.
Ibu memanggil anaknya tidak perlu lagi dengan panggilan sayang, tapi cukup
dengan bunyi ‘ping’ di BB nya. Orangtua lebih senang menenangkan anaknya dengan
video game, dibanding dengan mendongeng.
Padahal di Wellington kini,
mendongeng dilakukan oleh para orangtua kepada anaknya, juga pada orangtua
lainnya. Pelatihan-pelatihan dongeng rutin diadakan. Masyarakat Selandia Baru
menyadari bahwa dongeng itu media penyampaian pesan yang efektif untuk mentransfer
nilai-nilai. Bahkan bukan hanya untuk anak-anak, tetapi juga orangtua dan
remaja. Itulah yang terjadi di Wellington, Selandia Baru. Sebuah tradisi kita
yang kini sudah mulai ditinggalkan.