(Saat dibawakan, puisi ini dikemas monolog dalam peringatan Hari Pers Nasional di Yogyakarta. Dalam 'malam seniman Jogja' bersama para penyair dan seniman Yogyakarta.)
## (Suluk)
Ati –ati sing podo mikul wakul
Yen gembelengan wakule ngglimpang dadi sak latar!
Ketika aku berjalan menjemput asa
Dunia menyambutku dengan tangan terbuka
“Aku tempatmu menabung, datanglah” katanya
Aku pun datang meraih tangannya dengan keyakinan dan senyum
“Nikmatilah, anggap rumahmu sendiri”, katanya lagi
Seraya berjalan menjauh, membebaskanku
Berlari aku kelilingi tempat ini
Kesana kemari kedepan kebelakang
Ke kanan kiri lalu jumpalitan sebahagiaku
Keatas lagi kebawah lagi dan terus begitu
Sampai aku capek sendiri
Bertemu menemui menyapa menyaksikan dan mendengar
Mereka sesama manusia yang tidak dimanusiakan
Atau memang tidak memanusiakan dirinya sendiri
Aku pun teringat oleh tabunganku
Tapi aku melihat seorang paruh baya didakwa hanya karena pisang satu sisir
Sedang mereka pencuri uang rakyat tanpa malu menicure pedicure di penjara?
Fabbiayyia laa irobbikumaa tukadzibann
Mayat bayi digendong ayahnya di kereta untuk pergi keluar kota
Karena tak mampu biaya pemakaman di Jakarta?
Fabbiayyia laa irobbikumaa tukadzibann
Atas nama kasih sayang menyebarkan kondom
Sementara kasus aborsi meningkat pesat
Fabbiayyia laa irobbikumaa tukadzibann
Dengan mudahnya berdusta padahal jelas jelas
Sumpah diatas kepala telah dilakukan
Fabbiayyia laa irobbikumaa tukadzibann
Sekelompok massa yang mengatasnamakan agama
Melakukan tindakan anarkis tanpa malu pada Tuhannya
Fabbiayyia laa irobbikumaa tukadzibann
Lalu sana sini berbicara mencaci memaki
Mengkritik tanpa ada solusi dan aksi sedikitpun
Fabbiayyia laa irobbikumaa tukadzibann
Dan aku pun berkata dalam cermin ini
Dan aku pun berkata dalam cermin ini
Dan aku pun berkata dalam cermin ini
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan”
Rona Mentari
26 Februari 2012