Kenapa
Kunang-kunang selalu jadi makhluk magis bagi para penulis, perindu kasih, dan
perangkai makna?
.....
Bunda Tatty
Elmir mengenalkan Kunang-kunang kepadaku. Sebagai pahlawan di jalan sunyi.
Penerang di gelapnya sekitar. Yang tak terbuai sorot lensa. Yang tak redup oleh
pandangan hati. Ya, Kunang-kunang mencahayai sekitar, dimanapun berada.
Clara Ng
mendongengkannya padaku. Ia bilang. Kau
tahu kenapa dia dipanggil Kunang-kunang? Aku menggeleng. Karena ia terlalu spesial untuk hanya
disebut sekali saja, Kunang. Jadi diulang dua kali untuk menunjukkan betapa
hebatnya dia, Kunang-kunang.
Tere Liye
berujar. Kalian lihat Kunang-kunang itu. Aku
mendongak melihat kumpulan Kunang-kunang yang terbang disekitarku. Terbang dengan cahaya di ekornya. Kecil tapi
indah. Begitulah kehidupan. Kecil tapi indah. Seekor Kunang-kunang hanya bisa
menyalakan ekornya semalaman, esok-pagi, saat matahari datang menerpa hutan
kecil ini, lampu Kunang-kunang itu akan padam selamanya. Mati. Pergi. Tapi ia
tak pernah mengeluh atas takdir yang sesingkat itu. Lalu aku bertanya pada
diri sendiri, kapan terakhir kali aku mengeluh? Ah, mereka bahkan tidak pernah menangis atas nasib sependek itu. Malam
ini, meski mereka tahu besok akan pergi, mereka tetap riang terbang menghiasi
hutan. Menyalakan lampu. Memberi terang sekitarnya.