Kehadiran batik
di Yogyakarta seperti nafas yang menghidupi warganya. Dari lahir hingga tutup
usia, batik mengiringi hampir di semua tradisi. Kebutuhan yang tinggi atas
permintaan batik, menjadikan industri batik di Yogyakarta tidak pernah mati
suri. Meskipun digempur kain bermotif batik, nyatanya eksistensi batik tulis
tetap tinggi. Berikut adalah catatan hasil pelesiran saya dan kakak, ke museum dan beberapa sentra batik di Yogyakarta dan sekitarnya.
Usaha mempertahankan batik menjadi upaya yang susah
payah. Sejak Batik di nobatkan sebagai warisan kekayaan dunia, tahun 2009,
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali menyelaraskan irama. Kekuatan batik
sebagai nilai budaya dan industri dijadikan panutan. Kedua aspek ini pula yang
mengantarkan DIY sebagai Kota Batik Dunia.
Tahun 2014, sebutan itu disematkan oleh World Craft
Council (WCC). Selain dua aspek di atas, nilai ekonomi dan nilai historis,
terdapat lima aspek lainnya. Yaitu orisionalitas, regenerasi batik, ramah
lingkungan, reputasi internasional, dan persebaran daerah batiknya.
Mataram Kuno
Kemunculan industri batik di Yogyakarta tidak lepas
dari pengaruh Kraton. Pada abad 16, Batik hanya digunakan oleh keluarga dalam
kerajaan. Desa Pleret, Bantul disebut sebagai daerah pembatikan pertama. Para
wanita abdi dalem diminta nitiki, nyelup, dan nglorot batik. Dulunya, Pleret merupakan cikal bakal Mataram Kuno.
Yang menjadi sentra kerajinan pada zamannya. Setelah kraton dipindah, kebiasaan
membatik ikut tergerus. Kini, batik khas dari Pleret yang masih eksis adalah
Batik Nitik.
Sekitar tahun 1800 an batik mulai digunakan
masyarakat di luar kraton, namun masih sangat terbatas. Penggunaannya juga
masih berdasarkan kelas sosial. Afif Syakur (50), pengusaha batik Yogya
menggambarkan 4 jenis batik pada masa itu. Batik Larangan yang digunakan hanya
untuk keluarga Kraton. Batik Saudagaran yang dipakai oleh orang-orang kaya.
Batik Asing yang biasa digunakan oleh warga Cina dan Belanda. Terakhir, Batik
Rakyat untuk para petani.
Kampung Batik pada masa itu juga mulai menjamur.
Terdapat beberapa wilayah, antara lain di Giriloyo, Tamansari, Prawirotaman,
dan Tirtodipuran. Hasil produksi batik dari empat wilayah itu kemudian dijual
di Pasar Beringharjo. Kala itu, Pasar Beringharjo berfungsi sebagai tempat
strategis transaksi dagang. Lokasinya yang tidak jauh Kraton, Stasiun Tugu, dan
jalan protokol menjadikan tempat persinggahan para pedagang.
Kini keempat wilayah itu sudah mulai berganti fungsi.
Prawirotaman dan Tirodipuran sudah dipenuhi hotel dan penginapan untuk
wisatawan. Yang tertinggal hanya bangunan-bangunan tua besar, bekas pembuatan
batik. Tamansari masih bertahan meski berjalan pelan karena harus bersaing
dengan jenis batik cap dan kain bermotif batik. Lokasinya yang berhimpitan
dengan wisata Taman Sari, turut menghidupi para pembatik di wilayah itu.
Seorang pembuat batik tulis di Taman Sari, Sawitri
Kartika (58) salah satu pembatik yang masih melestarikan batik tulis. Wanita
paruh baya ini meneruskan tradisi membatik dari eyangnya, Atmo Suwanindro. Satu
lembar batik tulis menghabiskan waktu hampir 2 bulan. Untuk menghidupi
keluarganya, keduanya membuat batik kombinasi. Maklum, tidak sembarang turis
yang menginginkan batik tulis.
Bu Sawitri, pembatik asli Tamansari.
Bu Tuti, juga pembatik asli Tamansari.
Berbeda dengan kampung batik yang lain, Giriloyo
mampu berdikari hingga saat ini. Meski sempat pasang surut karena bencana
gempa, kini mampu bangkit dengan bantuan LSM dan pemerintah. Pembatik Giriloyo,
dulunya adalah abdi dalem yang tinggal di sekitar Imogiri untuk menjaga makam
raja-raja Kraton. Kebiasaan membatik itu turun temurun ditularkan hingga saat
ini.
Batik Giriloyo terkenal kekhasanya dengan tetap
mempertahankan pemakaian pewarna alam. Meski mengaku sulit mendapatkan bahan
baku pewarna alam, namun kebiasaan itu tetap dilakukan. Hingga kini, Giriloyo
kini eksis memasarkan batiknya lewat website.
Para pembatik diayomi dalam paguyuban. Lewat
paguyuban Batik Tulis Giriloyo, setiap anggota dapat berbagi keluh kesah dalam
produksi dan penjualan batik. Selain itu, pariwisata juga dihidupkan untuk
mengundang masyarakat ke kampung batik.
Tahun 1970 an mulai muncul kain bermotif batik atau
biasa dikenal batik print. Sedangkan di tahun 1980 an berkembang lukisan batik
sebagai turunan batik modern. Setelah itu semakin berkembang seiring kebijakan
penggunaan seragam batik.
Nilai Ekonomi
Batik
Nilai ekonomi yang dihasilkan produk batik
menciptakan banyak bisnis turunannya. Bukan hanya batik tulis, cap, dan
kombinasi, namun aksesori berhias batik tumbuh subur. Contohnya tas batik,
sepatu/ sandal batik, dan ukiran batik. Salah satunya berasa di Desa Krebet,
Bantul yang mengembangkan sentra kerajinan kayu batik.
Menurut data dari Dinas Perindustrian dan Koperasi DI
Yogyakarta roda bisnis batik berjalan dengan 715 unit usaha batik pada tahun
2015. Jenis batik yang dihasilkan meliputi batik tulis, cap tulis, cap, lukis,
dan kombinasi. Hingga tahun 2015, tenaga kerja yang terserap oleh industri ini
menyentuh angka 2.760 pekerja. Selain itu nilai produksi yang dihasilkan
mencapai 78 miliar.
Unit usaha batik di Yogyakarta cenderung meningkat.
Dari 649 di tahun 2011, menjadi 715 di tahun 2015. Serapan tenaga kerja
tersebar di seluruh kota kabupaten. Daerah yang paling padat karya adalah
Kabupaten Bantul. Hingga tahun 2015, sebanyak 46 persen pekerja industri batik
berasal dari wilayah Projotamansari ini. Sedangkan nilai produksi juga meningkat
stabil setiap tahunnya. Hanya satu tempat yang mengalami penurunan nilai
produksi, sebanyak 3,8 persen (2015), yaitu Kabupaten Kulonprogo.
Bahan baku pembuatan batik di Yogyakarta, masih
didatangkan dari daerah lain bahkan impor. Bahan baku batik tulis salah satunya
berasal dari Toko Sidojadi dan Wongin. Keduanya terletak di Kecamatan
Ngampilan, Kota Yogyakarta. Kedua tempat ini sudah tersohor.
Alur distribusi
batik tergantung dari jenis batiknya. Kalau batik tulis, alur distribusinya
semakin pendek, karena konsumen langsung menyasar ke penjualnya. Sedangkan yang
berada di pasar dan toko, biasanya banyak batik cap dan kombinasi cap tulis.
Secara keseluruhan, alur distribusi batik di Yogyakarta semakin mendekati
tempat wisata, alur distribusinya semakin pendek. Hal ini semakin membuktikan
bahwa pariwisata pun turut menghidupkan industri batik.
Menghidupkan
Batik
Andil masyarakat dalam membumikan batik juga tinggi.
Selain anjuran pemakaian seragam batik untuk pegawai negeri sipil dan anak
sekolah, masyarakat pun tidak sungkan menggunakan batik dalam berbagai kegiatan
formal dan informal. Dinas Pendidikan Yogyakarta menjadikan materi Batik
sebagai kurikulum. Yaitu di SMK Negeri 5 Yogyakarta dan SMK Batik Gunung Kidul.
Setiap kota/
kabupaten di Yogyakarta memiliki ciri khas motif batik. Misalnya, Kulonprogo memiliki motif Geblek Renteng, Bantul dengan
motif Pandak Asmoro, dan Sleman dengan nama Sinu Parijoto. Keberagaman motif
batik itu juga akan menarik minat pembeli batik.
Selain dukungan
dari pemerintah, Paguyuban Sekar Jagad di Yogyakarta menaungi lebih dari 300 an
pembatik dan pengusaha aktif batik. Kegiatan paguyuban ini antara lain
“Kepyakan Batik”, yaitu mengerjakan batik tulis dengan banyak orang. Sehingga
menyerap tenaga kerja lebih banyak.
Yang tidak kalah
penting, status Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata turut berpengaruh dalam
mendatangkan wisatawan. Setiap hari, penerbangan langsung menuju Yogyakarta
lebih dari 40 penerbangan. Pelancong selalu menjadikan batik sebagai buah
tangan.
Industri batik di Yogyakarta sudah satu tahap lebih
maju dibanding wilayah lain. Bukan lagi soal memperkenalkan batik tetapi
mempertahankan batik. Dibutuhkan lebih banyak inovasi untuk meningkatkan repeat buying. Konsumen datang dari
berbagai macam latar belakang dan selera. Untuk mengakomodasi hal tersebut,
manajemen produk sangat dibutuhkan.
Julukan Kota Batik Dunia patut disyukuri. Kini
pemerintah dan masyarakat harus gotong royong menjaga ketujuh aspek itu agak
terus terpenuhi. Dari sisi budaya, orisinalitas, regenerasi, dan reputasi.
Kesemuanya berjalan beriringan supaya batik tetap tumbuh menjadi tradisi dan
industri.
Di depan lembaran kain batik yang dipamerkan di Museum Batik Yogyakarta.
Kakak dan Jani di depan puluhan alat cap batik di Museum Batik Yogyakarta.
(Rona Mentari dan Putri Arum Sari)